AktivitasArtikelPelatihan

Cerita Dari Digul: Ketika Minyak Bumi Sorong Mau Disedot Habis

Dermaga Boven Digoel/Yason Ngelia

Pada tahun 1988 perusahaan pengelolaan minyak dan gas bumi asal Houston Amerika Serikat bernama Conoko, Kini terkenal dengan nama  ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd (CIHL). Akan melakukan perekrutan tenaga kerja di Kota Sorong, hari ini Ibu Kota Provinsi Papua Barat Daya. Perekrutan itu berlangsung selama beberapa pekan, informasinya tersebar luas, tidak hanya di pusat Kota Sorong tetapi hingga ke kampung-kampung sekitar.

Jarak antara kota dan kampung-kampung di Sorong itu bervariasi, paling dekat sekitar 5 km terjauh bisa mencapai ratusan km. Masa itu tidak ada transportasi darat hanya bisa di tempuh dengan berjalan kaki. Sebagian kampung-kampung di pesisir pantai mengandalkan perahu tradisional atau bermotor untuk sampe di Sorong. Itu lebih cepat dari berjalan kaki menyusuri hutan di saat itu. Bagi masyarakat adat di pesisir berjalan kaki akan terpaksa dilakukan jika sedang badai dan membahayakan pelayaran laut.

Informasi yang beredar itu sampai juga ke telinga para pemuda di kampung, seorang di antaranya bernama Nataniel[1] yang berasal dari Suku Moi Sigin Kampung Katapop[2]. Dengan semangat yang tinggi, keinginan merantau, serta di iming-iming upaya yang besar mendorong Nataniel dan kawan-kawan meninggalkan orang tua dan sanak saudara.

Mereka berfikir jika tidak bekerja di perusahan pengeboran minyak di daerah asal mereka sendiri, mungkin saja akan sukses di tempat lain. Perusahan Migas Sorong memang adalah yang tertuah di Indonesia karena telah beroperasi sejak era Belanda tahun 1935 dan di nasionalisasi menjadi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang di produksi PT. Pertamina. Sayangnya Nataniel dan kawan-kawanya adalah generasi muda yang tidak diberikan kesempatan kerja di sana.

Mereka segera mendaftarkan diri. “Kami daftar nama saja langsung di terima.” Selanjutnya hanya mempersiapkan diri dan barang-barang.” Ujar lelaki paru baya itu sambil mengenang masa muda yang penuh petualangan.  Nataniel berperawakan orang Papua umumnya, berkulit hitam dan rambut keriting. Tingginya kira-kira 160 cm, dengan tampilan sedikit kribo dan berjenggot lebat. Ciri khasnya sejak dulu.

“Kami dapat informasi bahwa kami akan bekerja di perusahaan  minyak di Merauke. Jadi tanpa pikir panjang mendaftar dan naik kapal untuk menuju Merauke.” Kisahnya itu di sampaikan di Perumnas III, Waena, Kota Jayapura, tahun 2020. Kala itu Nataniel dan Istrinya sedang mengunjungi anak-anak mereka di Kota Jayapura. Dua anaknya adalah lelaki dan yang bungsu adalah perempuan yang masih pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMA). Seorang anak telah bekerja, seorang berkuliah di Universitas Cenderawasih.

Bersama sekitar 500 an tenaga kerja dari latar belakang berbagai suku bangsa. Seperti Maluku, Jawa, dan Papua. Anak-anak Papua tidak hanya dari suku Moi, tetapi juga Ayamaru, Maibrat, Aitinyo, Biak dan Serui. Perjalananan di tempuh menggunakan kapal selama dua minggu, seminggu di lautan dan seminggu menyusuri sungai (kali) Digul. Tatkala sudah berhari-hari di lautan maka mulailah muncul perasaan tidak tenang. Rasa itu menghantui mereka, terutama ketika seminggu pelayaran di lautan dan tidak kunjung sampai di Kota tujuan, yaitu Merauke.

Merauke yang masa itu termasuk Kota Kabupaten yang pembangunannya dimulai sejak jaman Balanda. Sehingga dari sisi kemajuan sejatihnya tidak jauh berbeda dengan Kota Sorong yang juga dibangun Balanda. Paling tidak itu dalam benak anak-anak Papua yang terdorong bekerja ke Merauke.

“Tapi kenapa tidak sampai-sampai Merauke.” “Kapal malah masuk ke kali besar (sungai), kami tidak tau ini kali apa.” Pikir mereka. “Banyak kawan-kawan sudah mulai bosan dan ada juga yang menangis, karena tau bahwa kami tidak sedang menuju ke Kota Merauke.”

“Beruntung di kapal ada seorang pria Papua paru baya, asal Sorong, yang juga turut dalam perjalanan sehingga menenangkan kawan-kawan yang marah dan menangis.” Ujar Nataniel sambil tertawa kecil mengingat masa mudanya itu.

Lautan bagi mereka adalah biasa, terutama Nataniel dan kawan-kawan nya dari Katapop yang hidup di pesisir pantai. Lautan yang ganas sudah terbiasa mereka hadapi dengan perahu tradisional untuk mencari makan dan membawa hasil kebun di jual hingga ke dermaga dan pasar di Sorong. Tetapi Ketika masuk semakin ke dalam sungai “raksasa” ini, adrenalin menjadi berbeda. Terutama Ketika mengingat mitos negatif penduduk lokal Digul yang tertanam sejak lama yaitu terisolasi, kejam, dan masih kanibal. Cerita tentang buaya-buaya sungai juga tidak kalah ganas.

Selama menyusuri sungai Digul kapal yang memuat mereka itu singgah di beberapa pelabuhan yaitu Kampung Bade Distrik Edera[3], Kampung Getentiri Distrik Jair[4] dan selanjutnya Tanah Merah, kini Ibu Kota Kabuten Boven Digeol.

Terkenal Sejak Kolonial Belanda

DIGUL MEMANG  TERKENAL WALAU SANGAT JAUH DARI HINDIA BELANDA. Tahun 1927 Belanda mulai merancang satu Kawasan paling ujung Digul sebagai lokasi pengasingan yang kemudian memantapkan kengeriannya itu, lokasi itu bernama Tanah Merah.

Walau tidak datang sebagai “buangan” Nataniel dan kawan-kawan merasakan suasana itu. Lebih lagi karena di tahun 1988 tidak banyak kemajuan yang berarti. Sungai Digul sebagai satu-satunya penghubung dengan dunia luar, selain Tanah Merah  puluhan kampung baru dialiri listrik sekitar awal 2000 an.

Situs cagar budaya Penjara Boven Digoel/ Yason Ngelia

Pramoedia Ananta Toer menyunting Suasana serupa yang juga di rasakan oleh tua-muda pejuang Indonesia 50 tahun yang lalu sebelum pelayaran Nataniel dan kawan-kawan.

Buku itu berjudul cerita dari Digul. Pelayaran yang jauh lebih mengerikan lagi, satu persatu di tangkap, di bawah menaiki kapal dan selama berbulan-bulan berlayar tanpa kepastian, makan yang tidak layak, sampai di ditinggalkan sengsara hingga menunggu ajal di kamp Tanah Merah tersebut.

“Waktu itu saya masih duduk di sekolah dasar Institute Boedi Outomo (IBO)” kata Pram, memberikan pengantar penyuntingan buku berjudul Cerita dari Digul. Saya sempat mengamati buku Minggat dari Diguel, terdiri dari beberapa jilid tipis. Foto-foto itu menampilkan sosok penduduk Digul: Lelaki, Perempuan, dan anak-anak. Mereka berkulit gelap, berambut keriting, dan hampir telanjang bulat. Selain itu ada menampilkan pemandangan sungai yang lebar, rimba belantara, hingga foto tubuh manusia yang terkapar tanpa kepala. Keterangan foto-foto itu di tulisan dalam bahasa melayu, yang bahkan saya belum terbiasa dengan bahasa itu, kata Pram.

Selain buku tipis itu, kata Pram, orang pertama yang menulis tentang Digul adalah Mas Macro Kartodikromo, yaitu sejarah Boven Digul (Batavia: Persatuan Indonesia, 1929). Buku kedua karangan L.JA Achoonheyt, Boven Digul (1936). Kini tentu saja sudah banyak orang berkisah tentang Digul, dari berbagai perspektif yang beredar di buku dan surat kabar.

Pada masa itu Digul atau siapapun yang bertujuan ke Digul adalah kesialan dalam hidupnya. Digul adalah tempat pembuangan para tahanan politik yang paling di dibenci di Indonesia, maka hukumannya adalah pembuangan ke Digul “negri yang jauh dari bulan” kata penulis Ktut Tantri yang populer itu. Ada ribuan pejuang yang beraliran Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Nasionalis yang terbuang ke Digul. Terkenal adalah Aliarcam yang terkubur bersama pejuang Indonesia lainnya di Taman Makam Pahlawan (TMP) Indonesia di Kampung Wet Tanah Merah, Boven Digoel. Lokasi makam hanya sekitar 3 km dari Bandara Kabupaten Boven Digoel, begitu juga dengan barak penjara Belanda yang tidak lebih dari 1 km, Kearah dermaga pelabuhan.

Paling terkenal dan beruntung tidak mati diantaranya adalah Sjarir, Muhamaad Hatta, dan para penulis yang karyanya di sunting oleh Pram (2001). Dari pembuangan ini juga banyak melahirkan ide-ide dari para tokohnya tentang upaya menasionalisasi orang Papua, dengan mendirikan partai Kemerdekaan Indonesia di Jayapura dan mendidik anak-anak Papua untuk menjadi bagian dari Indonesia. Seperti yang dilakukan oleh Soegoro di Holandia (Jayapura) setelah mengambil hati Belanda dan dipercayakan menjadi guru di sana.

Ketika Minyak Bumi di Sorong Akan Habis Tersedot

SETELAH HAMPIR SEBULAN PERJALANAN TIM EKSPEDISI CONOKO[5] BERKEBANGSAAN AMERIKA MEMBAWA ratusan tenaga kerja itu, berjalan kaki menelusuri hutan pedalaman Boven Digoel tahun 1989.

“Kita dipandu oleh penerjemah bahasa, tiap suku yang kami jumpai ganti juru bahasa, ada banyak suku seperti Korowai, Kombai, hingga korowai batu. Lewat kawagit terus ke atas, hingga dekat oksibil[6]. Ciri-ciri mereka ada yang hampir tidak berbusana, untuk perempuan dan laki-laki dewasa hanya menutup alat kelamin dengan dedaunan atau kulit kayu, sedangkan untuk perempuan bagian atasnya tidak tertutup sama seperti lelaki. Rumah tinggal mereka di atas pohon, ada yang orang-orangnya berukuran pendek-pendek.”

“Selama perjalanan kami juga sering bermalam di kampung-kampung sehingga akan disajikan makan oleh para penduduk. Tetapi biasanya kami akan mendengar intruksi dari juru bahasa setelah di tanyakan kepada orang kampung asal daging yang mereka makan.” “jangan sampe itu daging manusia” kata Nataniel yang terus mendeskripsikan kejadian sudah 30 tahun lalu itu.

Lokasi operasi migas persis tidak diketahui, tetapi dari nama suku dan kampung-kampung yang disebut, kini berada disekitaran Distrik Ninati, Distrik Woropko, Distrik Kombay, dan Distrik Kawagit, hingga berdekatan dengan Oksibil, Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Pegunungan. Ini bukanlah penjelajahan kecil apalagi dilakukan pada masa tersebut.

Orang-orang Amerika yang datang tidak sedikit, selain tim yang memimpin penjelajahan di hutan, banyak dari mereka yang menunggu di pesisir Digul. Kadang-kadang untuk menghabiskan waktu, mereka mulai berselancar dan menyelam di Digul. “Sebelum Korindo itu Conoko yang datang” kata warga Getentiri di suatu kesempatan.

“Kita akhirnya membangun kamp dan tinggal, untuk bahan makanan setiap minggu atau bulan akan di bawah oleh helikopter ke hutan. Pesawat menurunkan kotak makanan kemudian kembali lagi ke Tanah Merah. Kami punya stok makan sering diminta oleh suku-suku asli di sana seperti supermi, ikan kaleng, daging malin dan rokok. Kadang juga hilang mungkin dicuri sehingga bahan makanan itu sering berkurang dari waktu yang kita rencanakan. Untung Bos kami orang Amerika itu tidak marah, menurutnya yang penting pekerja aman tidak dicelakai selama di tengah hutan. Kalau bahan makan habis bos akan meminta mereka dengan panggilan radio untuk bawah lagi.

Ekspedisi selama beberapa bulan itu akhirnya terfokus pada salah satu titik di balantara hutan Papua Selatan. Tim bergegas menyiapkan berbagai peralatan termasuk juga bahan peledak, dinamit. Pemasangan dilakukan dan Ledakan pun terjadi, akhirnya hasil keberadaan minyak bumi itu terdektesi. Mereka semua bersorak ramai di tengah rimbah itu.

“Ada cerita lucu setelah minyak bumi ditemukan” kata Nataniel. “Cadangan minyak bumi yang ditemukan itu, menurut Bos Amerika sangat melimpah, diperkirahkan bila cadangan minyak bumi ini mulai dikerjakan dan produksi maka seluruh minyak bumi dari perut Tanah Papua akan terkumpul di satu titik ini, termasuk juga minyak bumi yang sementara yang sedang di produksi perusahaan Migas di Sorong. Prediksi itu disampaikan karena letak goegrafis temuan yang persis berada di tengah pulau Papua. Mendengar itu kata Nataniel, “kawan-kawannya yang dari Sorong, kecewa dan marah kepada bos Amerika itu, dan minta untuk tidak dilakukan pengoboran di sana. Mereka kuatir minyak di Sorong habis tersedot ke Tanah Merah.” Katanya sambil tertawa geli mengenang kejadian itu.

Sepertinya para pemuda ini tidak mau menjadi bagian dari orang-orang yang menyedot minyak bumi mereka sendiri ke wilayah lain. Kami tertawa bersama sambil bergantian seruput kopi pahit dan makan buah pinang malam itu.

CONOKO MEMANG TIDAK LAGI MELANJUTKAN OPERASINYA ITU. Tetapi tentu saja, bukan karena kekecewaan para pekerja asal Sorong. Sebagai pekerja biasa Nataniel tidak megetahui pasti alasan dibalik berakhirnya operasi Conoko. Setelah upah pekerja dibayarkan dan mereka dibiarkan memutuskan sendiri apakah mau berangkat kembali ke kampung halaman dengan kapal penumpang yang datang sekali sebulan atau bekerja di tanah Merah.

“Gaji yang kami dapat tidak banyak, tidak cukup untuk dibawah pulang ke kampung di Sorong, apa lagi selama di Tanah Merah kami menginap di rumah orang, belum lagi makan minum dan rokok.” Nataniel berujar. Dia memilih untuk turun ke Kampung Getentiri, Distrik Jair[7] dan bergabung dengan warga lainnya membuka lahan untuk perusahaan pengelolaan kayu yang berjarak 25 menit dari Getentiri, lokasi itu awalnya dimulai oleh perusahaan asal Malaysia yang kemudian dilanjutkan oleh perusahan asal Korea Selatan bernama PT. Korindo Group. Belakangan lokasi Korindo menjadi Kampung  administrasi bernama Asiki.

Ada banyak faktor yang mungkin terbaca dari kemunduran Conoko dari Tanah Merah Boven Digoel. Sebagai perusahaan raksasa berpengalaman asal Amerika pada bidang pertambangan tentu keamanan dan kestabilan produksi menjadi faktor penentu. Itulah yang tidak didapati selama ekspedesi tersebut. Selama ekspedisi tersebut di Boven Digoel juga di berlakukan Daerah Operasi Militer (Dom) untuk menumpas sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) Tentara Pembebasan Nasional Papua Merdeka (TPNPB). Wilayah-wilayah tersebut menjadi tidak kondusif tidak hanya untuk investasi tetapi juga keberadaan penduduk sipil yang akhirnya mengungsi hingga ribuan jiwa ke Papua Nugini (PNG)[8].

Selama ekspedisi tersebut pihak Conoko telah beberapa kali diperingati oleh kelompok Tentara Pembebasan Papua Barat (TPNPB) sayap militer Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk tidak melanjutkan operasi di sana. “Selama diperjalanan kami sering berpapasan dengan anggota TPN, mereka berpakaian sipil biasa, bawah parang, panah, senjata yang sederhana. Kadang mereka mendatangi kami di kamp untuk sekedar merokok” kata Nataniel menjelaskan keberadaan anggota TPNPB itu.” Pertemuan itu sering kali terjadi dan baik-baik saja karena tidak ada keamanan Tentara dan polisi Indonesia yang di bawah oleh pihak Conoko, sehingga komunikasi menjadi persuasif.

Kehati-hatian Conoko terhadap pengembangan investasi sepertinya masih sama, terutama untuk di Papua. Tawaran pemerintah terhadap Conoko tahun 2015 untuk pengelolaan Blok Warim, Agimuga Papua Tengah di tolak dengan alasan terpencil dan akses terbatas. Sehingga pemerintah Indonesia mengarahkanya ke perusahaan pertambangan lainnya. Masuknya Investasi di Blok Warim menurut Mikael Peuki Walhi Papua (2024), akan berdampak langsung kepada tiga suku Papua, yakni Damal, Mee dan Kamoro. Kemiskinan, marjinalisasi, dan tentu saja konflik antar suku.

**

 

***

Referensi

  1. Wawancara Narasumber: Nataniel, 2020
  2. Toer,A. Pram (2001): Cerita dari Digoel, Kepustakaan Populer Gramedia, Jakarta.

[1] Nataniel adalah suami dari adik mama saya. Saat memewancarai dirinya sudah pensiuan dari berbagai perusahaan di Boven Digoel dan menetap di Kampung halamannya Sorong, Provinsi Papua Barat Daya.

[2] Katapop kini menjadi bagian dari Kabupaten Sorong, Provinsi Barat Data.

[3] Kini masuk wilayah administrasi kab. Mappi

[4] Kini masuk wilayah administrasi Kab. Boven Digoel

[5] Apakah Conoko yang di maksud ini dikenal sebagai Conoko Philips Indonesia, perusahan Minyak dan Gas yang pernah beroperasi di beberapa daerah di Indonesia. Perusahaan yang Indonesia bahkan pernah menawarkan Blok Warim Papua Tengah kepada Conoko untuk dikelola tetapi mereka menolak, karena dianggap terlalu beresiko. Apakah sama, belum dapat saya pastikan. Tetapi dari sejarah dan latar belakang perusahaan yang ditemukan terdapat kemiripan, seperti dimiliki oleh Amerika dan pengelolaan sumber daya alam (SDA) yang sama[5].

 

[6] Oksibil adalah Ibu Kota dari Kabupaten Pegunungan Bintang, Provinsi Papua Tengah.

[7] Saat itu masih disebut Kecamatan Jair

[8] https://nasional.tempo.co/read/413955/15-ribu-warga-ingin-pulang-ke-boven-digoel

Baca Juga

Perihal Fenomena “Angkat Anak” di Tanah Anim Ha

Natale More Buer

Kalawai gelar pelatihan menulis artikel di Asrama Acemo

Redaksi Kalawai

DOB Bukan Solusi: Kritik Terhadap Bupati Kaimana dan Kawan-kawannya

Rudi Jafata

Leave a Comment