
“Tidak ada cuti haid dan melahirkan, tidak kerja, gaji dikurangi. Persoalan buruh tidak banyak di liput media. Partai buruh jangan sampai mengobjekan buruh demi kepentingan politik.”
Sekitar 50-an perusahaan kelapa sawit di Papua mengabaikan hak-hak buruh. Telah terjadi pelanggaran yang dilakukan perusahaan dalam membayar upah karyawan yang sudah bekerja lama. Justru membayar upah mereka nyaris sama dengan yang belum setahun bekerja. Para pekerja sendiri tak bisa berbuat apa-apa, walau mereka sudah memiliki wadah yang dinamankan serikat pekerja. Keberadaanya seperti tidak bisa menolong.
Melalui diskusi kondisi buruh sawit perempuan di Papua oleh Forum Aktivis Perempuan Muda [FAMM] Indonesia dan paraparabuku [perpustakaan] di Jayapura, 8 Mei 2025. Bertepatan dengan kisah tragis Marsinah— yang perkosan lalu dibuhuh—buruh perempuan yang ketika itu sedang mengorganisir aksi buruh pabrik jam di Nganjuk, Jawa Timur, 8 Mei 1993. Marsinah kini dikenang sebagai pejuang kesejahteraan buruh. Kematiannya diduga ada keterlibatan militer dan pemilik perusahaan.
Pada kesempatan itu menghadirkan dua pembicara, Putri Kurtia yang mengulas hasil liputan mendalam soal buruh sawit perempuan di PT.Sinar Mas, Distrik Kaureh, Kabupaten Jayapura, Papua. Dan Mantan Direktur LBH Papua, Emanuel Gobay, menyoroti soal hak-hak buruh yang lalai diperhatikan perusahaan. Diskusi dimoderatori Yokbeth Felle berlangsung satu jam lebih.
Putri mengaku dalam liputannya ada empat tulisan yang telah dipublikasi di medianya, TribunPapua.com. Salah satu Artikelnya ini telah tayang di Tribun-Papua.com dengan judul Kisah Buruh Sawit di Pedalaman Jayapura: Sulit Diangkat Jadi Pegawai Tetap https://papua.tribunnews.com/2024/11/11/kisah–buruh–sawit–di–pedalaman–jayapura–sulitdiangkat–jadi–pegawai–tetap?page=all#goog_rewarded
Putri usai tulisannya dimuat sempat mendapat teror. Tetapi, bagi saya, dengan menulis, itu caranya bisa menolong buruh yang enggan beruara dari ketiadak adilan dan kesewenangan perusahan terhadap para pekerja di perusahaan sawit.
Potret buruh sawit di PT.Sinar Mas merupakan gambaran bagaimana karyawan di perusahaan sawit lain di Tanah Papua.
Yang lebih miris, ketika perempuan mendapat menstruasi. Sementara fasilitas air bersih atau WC di antara sawit tidak tersedia.
Menurut pengakuan pekerja perempuan, ”Kalau hujan, kami bertahan dengan kondisi yang ada. Pulang baru mandi. Kita kerja dari pagi sampe sore,” ujar Putri mengulang cerita buruh perempuan.
Mengulik kesejahteraan yang diterima pun kerap tidak sesuai dengan isi kontrak kerja. Potongan upah kerja untuk BPJS kesejahteraan.
“Ketika mereka sakit dan ke rumah sakit. Ketika akan mengklaim BPJS. Pihak rumah sakit mengecek, rupanya BPJS tidak aktif [tunggakan]. Entah, ke mana biaya potongan BJPS dari perusahaan untuk tiap karyawanya itu?,”Ujar Putri.
Kondisi rumah karyawan pun banyak yang tidak layak huni. Hanya ada jawaban pasrah yang didengar Putri. Ada yang bilang mau bagaimana lagi.
Emanuel [disapa Edo] menyinggung kasus yang ditanganinya beberapa tahun lau di salah satu perusahaan sawit di Arso, kabupaten Keerom, Papua.
Karyawan perempuan yang ketika itu sedang membersihkan rumput di bawa pohon sawit. Dan dia dipagut ular berbisa. Sempat di antar ke pos kesehatan di sekitar perusahaan.
Edo mengambarkan situasi pos kesehatan katanya,”Jadi, ketika itu, tidak ada dokter atau petugas medis. Kemudian pasien di antar ke rumah sakit di luar dari areal perusahaan. Belum sampai, pasien sudah meninggal.”
Pihak perusahaan terkesan malas tahu sampai dengan ada aksi dari keluarga korban. Perusahaan membeli peti. Tetapi, ukuran peti tidak sesuai atau kecil.
Akibat dari aksi protes, beberapa karyawan dipecat pihak perusahaan. Yang lebih ironinya lagi, ”Karyawan laki-laki yang buat aksi dipecat. Istrinya yang tidak ikut aksi juga ikut dipecat. Ini sudah bagaimana,”Ujar Edo.
Selain itu, hak-hak perempuan tidak terakomodir dengan baik.
Kata Edo,masalah lainnya, perusahaan sawit di Papua belum banyak yang memiliki semacam kesepatakan bagi hasil antara pemilik ulayat dan perusahaan.
Perusahaan yang seharunya memenuhi upah karyawan sesuai,namun,terjadi penyimpangan.
Padahal, pemerintah setiap tahun berupaya meningkatkan kesejahteraan buruh dengan menaikan upah minimum regional. Untuk provinsi Papua, ditetapkan Rp 3 juta. Sayangnya dalam prakteknya, belum semua perusahaan mematuhi upah yang sudah ditetapkan pemerintah, masih ada perusahaan yang membayar hak karyawannya dibawa Upah Minimum Papua Minimum Provinsi[UMP].
Menyinggung soal serikat buruh dan liputan soal buruh di Papua. Edo mengaku yang luput dari liputan media-media di Papua.
Diskusi-diskusi buruh juga jarang. Apalagi aktivis yang mengangkat isu buruh atau terlibat memperbicangkan tentang buruh.
“Serikat dan mogok kerja merupakan bagian dari manajemen ekonomi perusahaan. Apabila buruh mogok kerja, itu satu ancaman besar bagi perusahaan. Mereka itu seperti “napas” dari jalan,tidaknya sebuah perusahaan.”
Ada salah satu peserta, mengulik keterlibatannya di Partai Buru.Dan melalhi diskusui itu, Ia mendapatkan satu fenomena buruh yang buruk di perkebunan sawit di Papua.
“Saya tidak bermaksud mengajak kawan-kawan ke politik praktis seperti yang saya jalani saat ini sebagai anggota partai buruh. Tetapi, ini penting untuk kita perjuangkan melalui jalur parpol,”ujarnyanya.
Edo yang sejak 2017 memperjuangkan nasib karyawan PT.Freeport Indonesia. Sejak pemerintah pusat memberlakukan Peraturan Pemerintah[PP]No.1 Tahun 2017 tentang perubahaan keempat atas PP. No.23 tahun 2010,”kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batu Bara;Pertama, perubahan Divestasi Saham menjadi sebesar 51 persen yang wajib dibayarkan perusahaan kepada pemerintah Indonesia.
Akibatnya, ribuan pekerja PT.Freeport Indonesia turun ke Timika,12 April 2017 dan melakukan aksi spontanitas.
Sejak buruh Freeport berjuang, kapan Said Iqbal— yang kini ketua umum Partai Buruh— angkat bicara tentang hak-hak buruh Freeport? Lalu sekarang buat Partai Buruh.
“Jangan kemudian menjadikan buruh sebagai objek politik. Harus benar-benar memperjuangkan hak-hak buruh,”tegas Edo.
***