Artikel

DOB Bukan Solusi: Kritik Terhadap Bupati Kaimana dan Kawan-kawannya

 

Fredy Thie Bupati Kaimana sumber foto TIMES Indonesia

Pemekaran wilayah di Papua memiliki latar belakang yang kompleks, terkait dengan sejarah, politik, dan sosial ekonomi daerah tersebut. Papua, yang pernah menjadi bagian dari Belanda, mengalami perubahan signifikan setelah integrasi ke Indonesia pada tahun 1969. Sejak saat itu, isu otonomi daerah menjadi penting, dengan tuntutan untuk pengelolaan yang lebih baik dari sumber daya dan pemerintahan. Banyak daerah di Papua yang terpencil dan sulit dijangkau. Pemekaran dianggap sebagai cara untuk mendekatkan layanan publik dan pemerintahan kepada masyarakat. Ada ketidakpuasan terhadap distribusi sumber daya dan pembangunan yang dianggap tidak merata. Pemekaran diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mempercepat pembangunan infrastruktur dan layanan.

Papua memiliki beragam suku dan budaya. Pemekaran sering kali dipandang sebagai upaya untuk memberikan ruang bagi pengakuan dan pengelolaan kearifan lokal. Ada juga kepentingan politik, seperti pengaruh dan kekuasaan lokal, ambisi pemimpin daerah, dan upaya mendapatkan dukungan dari masyarakat. Tekanan dari berbagai kelompok masyarakat dan politisi lokal juga mendorong pemekaran, dengan harapan dapat memberikan kekuatan politik dan representasi yang lebih baik.

Meskipun terdapat potensi positif, pemekaran juga menghadapi tantangan seperti risiko konflik, pengelolaan sumber daya yang buruk, dan potensi ketidakpuasan masyarakat jika tidak diikuti dengan kebijakan yang tepat. Yang mana di Tahun 2021 setelah pengesahan Undang-Undang Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II dan pemekaran daerah otonomi Baru (DOB) di beberapa wilayah di Papua, di antaranya: Pemekaran Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Selatan, Provinsi Papua Pegunungan, Papua Badat Daya, dan ide tentang Provinsi Domberay di wilayah adat Bomberay.

Peluang atau Ancaman

Ide Provinsi Bomberay terutama berasal dari para elit politik di Kabupaten Kaimana, Teluk Wondama, dan Fak-fak. Seperti Bupati Kaimana Freddy Thie, Bupati Teluk Wondama Hendrik S Mambor, dan Bupati Fak-fak Untung Tamsil. Mereka sepakat membentuk daerah otonomi baru (DOB) bernama Provinsi Bomberay dengan Ibu kota di Distrik Bomberay Kabupaten Fak-Fak.

Melalui rapat paripurna dengan Dewan Perwakilan Rakyat Papua Barat (DPR PB) untuk penetapan pembentukan panitia kerja (panja) percepatan pembentukan provinsi Bomberay Raya di Manokwari, 20 September 2022. Bila mana perencanaan tersebut di lakukan dengan sepihak tanpa mempertimbangkan dampak yang akan terjadi dan akan di alami oleh Masyarakat Adat yang mendiami Wilayah Bomberay. Terlebih khusus untuk Kabupaten Kaimana.

Ambisi dari Bupati Kaimana Freddy Thie tidak masuk akal. Karena jika kita melihat dan mengulas kondisi dan keberadaan masyarakat adat Kaimana, hari ini belum siap untuk mekarkan beberapa wilayah bagiannya, yaitu kabupatenTeluk Etna, Kabupaten Yamor dan Kabupaten Teluk Arguni, dikarenakan Kabupaten Kaimana tidak memenuhi syarat secara adnismistrasi.

Jumlah penduduk Kaimana 60.216 jiwa, jumlah kampung 86 Desa, jumlah kecamatan 7 Distrik dan 2 Kelurahan. Sehingga keputusan yang di ambil oleh Freddy Thie, kami anggap hanyalah demi kepentingan diri sendiri dan kawan-kawanya sebagai pengusaha, politisi, dan kaki tangan oligarki nasional di Jakarta. Mereka tidak melihat kepentingan masyarakat Kaimana yang akan mengalami dampak dari pemekaran itu.

Masalah yang mungkin timbul  setelah pemekaran 

Masalah-masalah dalam kehidupan sosial akan bermunculan, berbagai dampak dari rencana pemekaran dapat disebutkan sebagai berikut: antara lain pemekaran wilayah dengan urbanisasi dan atau migrasi memiliki hubungan yang timbal balik. Yang mana masyarakat di tanah Jawa memiliki jumlah penduduk yang padat, dengan perekonomiannya yang sulit, dan pajak yang tinggi, akan membuat masyarakatnya depresi.

Sehingga demi menunjang dan bertahan hidup, mereka akan bermigrasi dan dimobilisasi secara besar-besaran ke daerah-daerah yang baru di mekarkan, salah satunya Kabupaten Kaimana. Ini akan membawah pengaruh terhadap pertumbuhan penduduk kota dan perluasan kota, otomatis mereka yang akan menguasai ruang-ruang lingkup di perkotaan dan masyarakat Kaimana akan terpinggirkan, tinggal di pinggiran kota, tanpa ada regulasi yang mengatur atau membatasi urbanisasi penduduk ini mereka akan keluar- masuk wilayah begitu saja. Apa lagi tanpa regulasi pebatasan penduduk yang jelas dan kuat.

Sebaliknya masalah lapangan kerja atau kesempatan kerja yang tersedia bagi penduduk Kaimana semakin terbatas. Hal ini di sebabkan karena pencari kerja dari luar akan semakin banyak sehingga peluang setiap orang Kaimana untuk memperoleh pekerjaan sangat kecil, persyaratan bagi pencari kerja semakin ketat misalkan kerja kantoran maupun lapangan kerja yang disediakan oleh swasta akan membutuhkan ijasah sebagai prasyarat.

Dengan jumlah masyarakat Kaimana yang sedikit ini, kita mengulas kembali berapa jumlah masyarakat Kaimana yang sarjana, pasti banyak tetapi dari sekian itu berapa yang telah bekerja, berapa jumlah masyarakat Kaimana yang putus sekolah di bangku SD, SMP, SMA. Bagaimana kesejahteraan masyarakat adat yang nelayan, petani, yang juga perlu di perhatikan. Jika di lihat tidak sebanding jumlah pekerja Orang Kaimana di, swasta, di tokoh, di pasar, dan penguasa kecil-kecilan.

Jika Peekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) maka aka nada kebutuhan pemukiman perumahan yang meningkat, semakin berkurangnya daya tampung perumahan bagi penduduk berpenghasilan kecil dan para pengangguran dari luar kota dapat memperluas daerah hunian kumuh dan liar di Kaimana, pembangunan pemukiman masyarakat ini pasti membutuhkan bahan material yang banyak, misalkan pengambilan kayu, pasir dan batu dengan jumlah yang banyak, Semakin banyak pembangunan rumah kaca akan mengakibatkan polusi dan nepotisme. Serta menambah jumlah orang-orang gelandangan kemudian muncul kriminalitas dan polusi yang sangat mengganggu ketenangan di kota .

Akan ada kebutuhan lahan pertanian, para petani kebun semakin terdesak, lahan pertanian dipinggiran kota semakin berkurang karena akan disulap menjadi pusat-pusat pelayanan sosial, seperti perumahan/pemukiman, pertokoan, perkantoran, pabrik industry dan sebagainya. Hal ini juga sangat penting karena kami masyarakat Kaimana maupun secara umum masyarakat Papua besiknya bercocok tanam. Berbeda lagi kalau perkebunan milik negara misalkan yang sekarang lagi tranding di Papua yaitu Hak Guna Usaha (HGU) kebun kelapa sawit, izin usaha pengelolan hutan kayu (IUUHK), pertambangan, maupun ketahanan pangan nasional Food Estated akan membutuhkan luas wilayah yang mau di garap ini sangat besar dengan jangka Panjang akan mengambil alih ruang hidup masyarakat adat, kualitas tanah menurun, dan perubahan sosial yang gila-gilaan.

Paling penting yang sering di lupakan oleh para politisi ambisius adalah persoalan Kesehatan masyarakat yang tidak pernah memadai di tingkat kampung hingga kabupaten, beasiswa bagi pelajar hingga universitas terutama di era Otsus.

Penutup

Sehingga di akhir tulisan ini penulis mau mengingatkan kepada Bupati Kaimana dan lingkaran pejabat ambisius di wilayah adat Bomberay jangan karena nafsu lalu mengabaikan berbagai kemungkinan terburuk dari ide tentang pemekaran Provinsi ini. Pemekaran DOB bukan perlombaan dan ajang membangun dinasti-dinasti politik lokal.

Yang terhormat Bupati kabupaten Kaimana Fredy Thie, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/(DPRD), Dewan Adat Kaimana, Dewan Adat Suku/(DAS), Toko Pemuda, toko perempuan, maupun Organisasi Paguyuban yang ada di kabupaten Kaimana Penting sekali untuk mempertimbangkan ulang atas keputusan yang sepihak untuk memekarkan wilayah Kabupaten Teluk Arguni, Kabupaten Teluk Etna, Dan Kabupaten Yamor. Terutama dengan tidak melibatkan masyarakat Adat Kaimana.

Salam..

Baca Juga

Kisah Getentiri: Orang-orang yang Dilupakan (Bagian I)

Yason Ngelia

Cerita Baprock: Dari Perbatasan Timor Leste ke Perbatasan Papua Nugini

Yason Ngelia

Kolonialisme Indonesia dan Quo Vadis Papua Merdeka

Kristian Kobak

Leave a Comment