
Fakfak adalah salah satu Kabupaten di wilayah Provinsi Papua Barat. Sebelum dimekarkan tahun 2002, wilayah Fakfak mencangkup Kaimana, Bintuni, hingga Timika. Setelah dimekarkan, sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Teluk Bintuni, Sebelah Selatan Laut Arafura, Sebelah barat dengan Laut Seram dan Teluk Berau, dan Sebelah timur dengan Kabupaten Kaimana.
Sejak tahun 2018, Kabupaten Fakfak terbagi menjadi 17 distrik, yang terdiri dari 7 kelurahan dan 142 desa[1], dengan luas 14.320 Km2. Secara sosial dan antropologis masyarakat hukum adat Fakfak berada di wilayah adat Bomberay[2], di mana mereka menyebut diri mereka sebagai suku Mbaham Matta. Suku ini terdiri dari 23 sub komunal[3], dengan 146 marga, dan mengunakan 12 bahasa daerah[4].
***
Tidak ada istilah masyarakat adat, hak ulayat marga, uang tali asih, atau apapun yang sering sekali kita dengar hari ini ketika membicarakan dan memperjuangkan hak atas tanah-tanah adat.
Warga kampung Sum, Distrik Teluk Patipi, Fakfak, bercerita bagaimana perusahan Hak Penguasaan Hutan (HPH) PT. Arfak Indra beroperasi di wilayah mereka, awal 1990 .“di Teluk ini, kapal-kapal tongkang[5] pulang pergi, dengan muatan berbagai jenis kayu, kami hanya bisa lihat saja”. Lainnya, mengatakan “kami di kampung ini hanya diberikan satu buah parabola untuk nonton TV”, sambil mereka menertawakan diri secara bersama dan mengatakan “di jaman itu tidak ada yang bisa protes karena takut”[6].
Arfak Indra tidak memiliki tanggung jawab sosial yang memadai kepada masyarakat. Tidak ada program beasiswa pendidikan, bantuan kesehatan, atau pembangunan fasilitas infrastruktur rumah dan jalan. Akses keluar masuk kampung saat itu hanya melalui jalur laut. Selain itu, tidak ada lapangan pekerjaan yang dapat diakses oleh warga lokal, karena semua pekerja didatangkan dari luar kampung. Hanya satu warga Kampung Sum yang pernah terlibat sebagai tim survei pada awal masuknya perusahaan.
Dua puluh tahun setelah PT. Arfak Indra meninggalkan Teluk Patipi, hutan adat yang dulunya digunduli telah tumbuh kembali menjadi hutan liar yang lebat. Sebagian area lain telah ditumbuhi kembali pohon pala dan kini menjadi sumber ekonomi bagi pemiliknya. Jejak jalan logging[7] yang pernah digunakan oleh perusahaan telah sulit ditemukan, kecuali jalan utama yang telah dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai jalan raya penghubung antar kampung hingga ke ibukota Kabupaten. Tidak ada lagi sisa-sisa PT. Arfak Indra yang tampak di hutan adat mereka, kecuali tumpukan kayu log yang telah membusuk di tengah hutan dan balik gunung.

Di Kampung Werabuan, Distrik Wertutin, warga mengatakan, kawasan mereka di gunduli PT. Arfak Indra sepanjang 16 Km ke arah gunung, sedangkan di pesisir pantai mereka didirikan lokpon, sebagai pelabuhan mengirimkan kayu log, yang warga tidak mengetahui kemana tujuannya. Selama beberapa tahun beroperasi, mereka tidak mendapatkan manfaat sama sekali, ada janji pembayaran kompensasi sebesar 300 juta secara bertahap, namun tidak pernah terealisasi hingga perusahaan itu keluar. Cerita ini sudah 20 tahun yang lalu.

Tahun 1999 itu mulai muncul protes besar-besaran karena dampak limbah PT.Hanurata Unit Papua Barat terhadap habitat Sungai Mambunibuni, limbah menyebabkan kematian ikan-ikan Sungai tersebut. Marga pemilik yang melakukan protes, adalah marga Patiran, Wagap, Hegemur, Weripan, dan Bahba. Setelah protes itu, PT. Hanurata Unit Papua Barat menjanjikan pembayaran kompensasi namun tidak pernah memberikan kopensasi seperti yang di sepakati bersama. Akibat protes tersebut membuat perusahaan Hanurata pada tahun 1999 praktis tidak lagi beroperasi[8].
Di Kampung Seherai, Distrik Fakfak Timur, Mama Mince Tungging, juga mengungkapkan kekesalannya terhadap perusahan-perusahan HPH yang masuk merusak wilayah adat di mereka. “Kita susah bicara tentang PT. Arfak dan PT. Hanurata Unit Papua Barat, orang semua rakus. Mereka bikin jadi dulu, baru pemberitahuan ke masyarakat, hanya duduk minum kopi dan persetujuan saja. Kalau benar-benar musyawarah pasti ada orang tua, anak muda, tokoh agama, tokoh Perempuan, itu harus hadir semua. Selesai baru masuk ke tua-tua adat. Kalau selama ini yang terjadi itu yang punya izin dan perusahan saja.”
Mama Mince mengatakan “di Seharai tahun 2004 kami melakukan pemalangan aktivitas PT. Arfak Indra karena menyerobot tanah dari marga Tungging dan marga Wawat. Pemalangan mendapati kompensasi sebesar 70 juta rupiah, uang itu kemudian dibagikan secara merata kepada marga korban”. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 2007 PT. Arfak Indra tidak lagi beroperasi.
Pada Oktober 2024, diketahui bahwa masyarakat adat telah melakukan pemalangan lokasi Lokpon PT. Arfak Indra selama tiga bulan terakhir. Marga pemilik yang melakukan pemalangan adalah marga Meram dan Serinding (Meram). Kasus ini gagal ditangani oleh kepolisian setempat sehingga diserahkan kepada Dewan Adat Papua (DAP) Mbaham Matta. DAP Mbaham Matta merencanakan proses peradilan adat untuk menggali fakta-fakta tentang kepemilikan lahan menurut marga. Apner Hegemur, Ketua I DAP Mbaham Matta, mengatakan bahwa peradilan adat tidak bersifat menghakimi atau membenarkan salah satu kubu, melainkan menjabarkan sejarah panjang kepemilikan secara objektif dari berbagai pihak. Hal ini diharapkan dapat memberikan wawasan bersama dalam menyelesaikan konflik, sehingga konflik segitiga antara marga-marga pemilik dan perusahaan dapat menemukan solusi.

Eksploitasi di Atas Eksploitasi
CERITA-CERITA DI ATAS INI TIDAK TERLEPAS DARI BAGAIMANA MANUSIA DAN HUTAN DI TANAH PAPUA DIEKSPLOITASI OLEH SOEHARTO KETIKA BERKUASA. Tahun 1994, Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa Irian Jaya (YPMD-IRJA) menerbitkan laporan dengan judul ‘Seri Kumpulan Kliping, Buku Kedua: Hancurnya Hutan Kami’.
Seri ini merupakan kumpulan data dari berbagai media lokal hingga nasional yang dipublikasikan secara resmi untuk memahami motif ekonomi politik Jakarta pada masa itu. Terlihat bahwa Jakarta tidak puas hanya dengan mengeksploitasi sumber daya alam (SDA) melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UPMA) untuk meloloskan PT. Freeport McMoran dan berbagai perusahaan pertambangan minyak dan gas di seluruh Indonesia.
Negara juga mulai menyasar SDA lain yang tidak kalah menjanjikan, yaitu hutan. Wilayah-wilayah yang kemudian menjadi sasaran melalui produk Undang-Undang Kehutanan No. 5 Tahun 1967 adalah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Efeknya, pada 1995, ada sekitar 586 konsesi HPH dengan luas keseluruhan 63 juta hektare, baik yang dieksploitasi oleh perusahaan swasta maupun Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Padahal total hutan Indonesia berjumlah 125,76 juta hektare, yang berarti negara melepaskan hutan Indonesia setara dengan 62,97%.
Masih dari kliping YPMD-IRJA, setelah eksploitasi hutan Kalimantan pada tahun 1970-1980-an, menjelang akhir 1980-an eksploitasi hutan diarahkan ke Irian Jaya (Papua). Pada waktu itu, diperkirakan hutan Papua seluas 41,5 juta hektar dibagi ke dalam 6 kategori pemanfaatan. Dari total luas, 17 juta hektar merupakan hutan suaka alam (konservasi) dan hutan lindung, sedangkan 24,5 juta hektar merupakan hutan produksi. Temuan Ronald Petocz pada tahun 1982 menunjukkan bahwa ada sekitar 66 rencana wilayah konsesi penebangan kayu, di mana 14 di antaranya sudah disetujui, dengan data konsesi Hak Pengelolaan Hutan (HPH) seluruh Tanah Papua mencapai 44 perusahaan yang terbagi dalam delapan grup[9].
Khusus untuk kepemilikan HPH di Fakfak dari 44 HPH di Tanah Papua, sesuai laporan Tempo yang di muat dalam Kliping YPMD adalah PT. Pakarti Nusa Belantara (1987), PT. Diandani Timber (1988), PT. Sedia mulia (1989), PT. Arfak indra (1989), PT. Prabu Alaska (1991), PT. Kamundan Raya (1992), PT. Teluk Bintuni Mina Agrokarya (1992), PT. Prasana marga (1992), PT. Hanurata Unit Papua Barat (1994). Dengan total mencapai 1.993.170 hektar.
Sembilan pemegang konsesi HPH itu kini menyesuaikan dengan pemekaran kabupaten secara administratif. Sehingga, tidak semua perusahaan beroperasi di kabupaten Fakfak. Walaupun sebenarnya penyebaran mereka merata di seluruh wilayah di Fakfak, sehingga beberapa dari mereka bisa “bermain” izin penguasaan lahan yang kemudian menyulitkan Masyarakat adat[10].
Beroperasinya perusahan HPH sejak 1980-1990 mengalami pasang surut, ada yang masih bertahan hingga sekarang, sebagian lagi menyesuaikan dengan daerah administrasi kabupaten yang berbeda. Ada yang merusak hutan dan meninggalkan begitu saja, ada yang meninggalkan puluhan log membusuk sampai sekarang. Tiga nama perusahaan HPH yang masih bertahan hingga sekarang walaupun dengan operasi yang terbatas dengan konsesi yang besar seperti PT. Hanurata Unit Papua Barat papua Barat, PT. Prabu Alaska, PT. Arfak Indra.
Selain HPH, Hak Guna Usaha (HGU) dan Izin Usaha Perkebunan (IUP) PT. Rimbun Sawit Papua (RSP) telah melakukan penanaman kelapa sawit di distrik Tomage dan Bomberay seluas 17.596,62 Ha[11] di atas konsesi IUP 32.036,50 Ha. Saat ini RSP sudah aktif beroperasi dan telah membangun pabrik pengelolan kelapa sawit (CPO) di Kawasan Distrik Bomberay (2024). Untuk perbandingan luasan perkebunan RSP di dua distrik ini mencangkup seluruh areal perkebunan Pala milik masyarakat di 17 distrik di kabupaten Fakfak yang mencapai 18.547,00 Ha. Dengan total kuintal melibihi seluruh perkebunan pala rakyat[12].
Selain itu, PT. Pupuk Indonesia telah menginvestasi 116 Triliun untuk pembangunan pabrik di Fakfak hari ini. Investasi ini menjelaskan tentang posisi Fakfak sebagai salah satu kawasan strategis nasional di masa depan. Sehingga membuka peluang akan banyaknya investasi besar di sana.
***
ADA TIGA NAMA PERUSAHAAN HPH YANG SERING KALI DISEBUT WARGA SAAT INI, YAITU PT. PRABU ALASKA, PT. ARFAK INDRA, DAN PT. HANURATA UNIT PAPUA BARAT. Konsesi ketiga Perusahaan ini tersebar dari barat hingga ke timur Fakfak dengan total konsesi 604,545.86 hektar.
Kepemilikan konsesi perusahan HPH yang luas menyebabkan masyarakat adat kehilangan hak kepemilikan secara tidak langsung. Abdul Werwanas, warga Kampung Werabuan, mengatakan dia kaget mengetahui dari Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kabupaten Fakfak bahwa sebagai pemilik ulayat, mereka tidak bisa melibatkan investor lain ke wilayah mereka karena pemegang konsesi adalah PT. Hanurata Unit Papua Barat.
Masyarakat adat dianjurkan untuk bernegosiasi pembagian hasil dengan PT. Hanurata sebesar 15 persen. “Kalau seperti itu lebih baik tidak usa sekalian, sama saja kami bekerja untuk hanurata” kata Werwanas dengan kesal. Lebih lagi, sepengetahuan masyarakat adat perusahan sudah lama tidak beroperasi di kampung mereka.

Perubahan kepemilikan konsesi HPH/ IUPHHK-HA, tumpeng tindih tahan adat dengan konsesi perusahaan, serta izin-izin yang di dapat peruhaan tanpa persetujuan Masyarakat adat, sangat umum dirasakan oleh Masyarakat adat di Fakfak. Keadaan ini bertolak belakang dengan gencarnya Upaya pemetaan wilayah adat di Indonesia dan beberapa daerah lain di Tanah Papua. Yang berharap segera mematenkan kepemilikan Masyarakat adat di hadapan negara sekaligus Perusahaan yang telah memiliki izin pengelolaan tanah adat.
Ada beberapa Lokpon milik PT. Hanurata Unit Papua Barat yang kini telah di garap oleh PT. Arfak Indra, misalnya Lokpon di Kampung Goras, Distrik Mbaham Ndardara. Lokpon yang sebelumnya dibiarkan terbengkalai dengan tumpukan kayu log dan mobil operasional perusahaan yang berkarat, kini aktif dengan nama baru, PT. Arfak Indra saat ini (2024). Lokpon ini menghubungkan kamp penebangan kayu log, berjarak 30 menit. Ada seratusan penebang kayu PT. Arfak Indra yang di pimpin seorang asing berkebangsaan Cina.
Terdapat indikasi adanya mafia jual beli izin konsesi kepada perusahan-perusahan yang tidak lagi aktif di Fakfak. Untuk beberapa kasus “hantu tanah” ini, DAP Mbaham Matta pernah melakukan gugatan ke PTUN di Jakarta namun gagal[13].
Tuduhan warga selama ini di alamatkan kepada PT. Hanurata Unit Papua Barat yang sayangnya, Keapsahan PT. Hanurata Unit Papua Barat ini dapat di temui di dokumen-dokumen publik. Seperti sesuai Resume Hasil Penilaian Kinerja PHPL Dalam Rangka Penilikan Ke-2 Atas Kepemilikan S-PHPL Nomor : 011.Sphpl.019-Idn atas Nama PT. Hanurata Unit Papua Barat.
Berdasarkan hasil telaah dokumen berita acara pelaksanaan penataan batas terdapat pengakuan para pihak atas eksistensi areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam (IUPHHK-HA) PT. Hanurata Unit Papua Barat tahun 2017, bahwa berdasarkan hasil telaah dokumen berita acara pelaksanaan penataan batas terdapat pengakuan para pihak atas eksistensi areal IUPHHK-HA PT. Hanurata Unit Papua Barat.
Pertama, berita acara pelaksanaan penataan batas persekutuan areal kerja HPH PT. Hanurata Unit Papua Barat dengan PT. Prabu Alaska di Propinsi Irian Jaya.
Kedua, berita acara pelaksanaan penataan batas persekutuan HPH PT. Hanurata Unit Papua Barat dengan PT. Prabu Alaska Propinsi Irian Jaya.
Ketiga, berita acara pelaksanaan penataan batas persekutuan areal Kerja PT. Hanurata Unit Papua Barat dengan PT. Prabu Alaska, PT. Teluk Bintuni Mina Agro Karya di Propinsi Irian Jaya.
Keempat, berita acara pelaksanaan penataan batas persekutuan HPH PT. Hanurata Unit Papua Barat dengan Hutan Lindung Teluk Kambrauw di Propinsi Irian Jaya. Kelima berita acara pelaksanaan penataan batas persekutuan HPH PT. Hanurata Unit Papua Barat dengan Hutan Lindung Teluk Kambrauw di Propinsi Irian Jaya.
Tantangan menegakan Perda Kabupaten Fakfak Nomor 3 tahun 2023
DI TENGAH KETIDAKPASTIAN KEPEMILIKAN DAN KEPEMILIKAN “HANTU DAN MAFIA” HUTAN ADAT, Masyarakat adat Fakfak cukup bersyukur karena pemerintah Kabupaten Fakfak, Bupati dan DPRD telah menetapkan dan mengesahkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Fakfak Nomor 3 Tahun 2023 yang mengatur tentang pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan masyarakat hukum adat Mbaham Matta. Perda ini di harapkan menjadi kebijakan kongkrit penjabaran Undang-undang Otsus Papua yang sudah berjalan 20 tahun tapi belum ampuh menjaga keutuhan hutan adat Papua.
Dalam telaah singkat peluang dan tantangan Perda kabupaten Fakfak No. 3 tahun 2023, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengatakan, walaupun Perda tersebut memiliki peluang pemenuhan hak, tetapi Perda ini juga memiliki beberapa tantangan yaitu; pertama mengenai kriteria Masyarakat Adat Mbaham Matta, kedua pembentukan forum musyawarah serta pendanaan[14]. Adanya pesimistis ini beralasan, terutama menyangkut peraturan daerah di tinggkat Provinsi dan Kabupaten di Tanah Papua yang hampir-hampir tidak berguna, terutama jika bertentangan dengan prodak nasional dari jakarta, seperti undang-undang yang berlaku nasional, kebijakan ekonomi nasional, hingga alasan keamanan.
Masyarakat Mbaham matta bersama perangkatnya, organisasi Masyarakat adat seperti, Dewan Adat Papua, Lembaga Masyarakat Adat (LMA), organisasi sipil, Mahasiswa, Dewan Perwakilan Daerah jalur Otonomi khusus (DPRK), hanya menunggu kebijakan pemerintahan yang baru saja di lantik Pada bulan Februari yang lalu. Apakah ada Tindakan kongkrit untuk mengevaluasi dan menertipkan konsesi Perusahaan bahkan membatalkan konsesi yang terbukti merugikan masyarakat dengan terbukti menjalankan praktik “jual beli” tanah diluar pengetahuan Masyarakat adat Mbaham Matta.
Semuanya hanya bisa berharap.
***
Referensi:
Wawancara:
- Warga Kampung Sum
- Warga Kampung Werabuan
- Mama Mince Tungging
- Bapa Apner Hegemur
- Ketua DAP Mbaham Matta
Dokumen:
- Seri Kumpulan Kliping, YPMD-IRJA, 1994
- Fakfak Dalam Angka tahun 2023/BPS
- Telah Perda Kab. Fakfak No.3 Tahun 2023-AMAN
[1] Kabupaten Fakfak Dalam Angka 2024
[2] Masyarakat adat di Tanah Papua terdiri dari tujuh wilayah adat, yaitu; Tabi, Saireri, Domberay, Bomberay, Anim Ha, Lapago dan Meepago.
[3] 23 Sub komunal yang dimaksudkan adalah sub-sub suku dari dua sub suku Mbaham dan Matta.
[4] Wawancara Tokoh Adat
[5] Tongkang adalah kapal muatan ribuan kayu log, tongkang biasanya di Tarik oleh kapal lainnya yang berukuran lebih kecil.
[6] Wawancara warga kampung Sum 3 Oktober 2024
[7] Dimaksud dengan jalan loging, adalah jalan yang di bangun perusahan untuk menghubungkan Lokasi penebangan kayu log dengan Pelabuhan lokpon. Kendaraan yang biasa di lalui adalah truck logging yang memuat potongan kayu log berukuran besar.
[8] Wawancara Apner Hegemur Ketua I DAP Mbaham Matta
[9] Seri Kumpulan Kliping, buku Kedua, hancurnya Hutan kami, 1994.
[10] Wilayah yang disebutkan sebagai lokasi operasi perusahaan HPH tersebut mencangkup wilayah Distrik Teluk Patipi Kampung Sum, Puar, Adora, dan Uss. Wilayah Distrik Furwagi meliputi Kampung Rumbati, Tawor, Salangkiti, Tali Sepata, Werfra dan Sifatnanam. Wilayah Distrik Wartutin meliputi Kampung Wartutin, Werabuan, dan Werpigang. Wilayah Distrik Fakfak Timur Kampung Sanggram, Saharei, Weri, Tunasgai. Wilayah Distrik Karas Kampung Malakuli, dan Distrik Kokas kampung Kriwaswas, Mambunibuni, kinam, Kampung Baru. Serta Distrik Mbaham Ndardara meliputi kampung, Goras, Wos, Werumu, Mangmang Kandak.
[11] Fakfak Dalam Angka 2024
[12] Fakfak Dalam Angka 2024
[13] Wawancara Mama Mince Tungging
[14] Telah Singkat implementasi Perda Kabupaten Fakfak No. 3 Tahun 2023 oleh AMAN