
Membuat film documenter dimulai dari kegelisahaan yang ingin divisualkan. Walaupun tidak ada uang di situ. Pastiada jalan. Dan pentingnya kerja kolaborasi.
Festival Film Papua ke-VII di Wamena, baru saja usai pada Agustus lalu. Komunitas Papuan Voices merupakan kumpulan anak-anak muda Papua yang terus bergerak membuat film-film documenter sejak, 2012.
Berbagai karya film lebih dari seratus film. Dengan tema yang erat dengan masyarakat yang ada di kampung-kampung. Bererak dari kampung. Menjaga dusun, marga dan menjaga tanaman lokal yang semakin lama tergerus oleh kepentingan kapitalis berkedok swasembada pangan, ”beras”.
Festival film VII Wamena bertemakan,”merajut kembali budaya yang telah hilang.” Tema yang antara kegelisahaan akan sebuah entitas sebagai anak-anak Papua yang hidup dalam bayang-bayang budaya yang mulai terkikis oleh hedonisme. Dan apatis.
Di kesempatan festival, Dandhy Laksono yang kemudian menelisik jalan sunyi film documenter dari hinggar binggar sebuah tontonan di bioskop. Dandhy Dwi Laksono merupakan seorang jurnalis investigasi yang sudah sering mengkritik kebijakan pemerintah melalui film. Salah satu filmnya The Mahuzes. Film dokumenter yang menggambarkan konflik adat di Papua.
Dandhy mengawali pelatihannya dengan memantik peserta pelatihan dengan pertanyaan. ”Apakah kawan-kawan mau serius buat film documenter? Karena tidak ada uang. Dokumenter itu jalan sunyi. Kita ingin agar orang tidak tersihir. Seolah-olah pembangunan itu baik selalu,”kata Dandhy.
Lewat film documenter ada pesan yang mau tunjukan. Dibalik pembangunan yang megah dan hebat. Ada pengorbanan orang lain. Seperti film documenter yang disutradarainya yaitu film,”The Mazuhe”.
Film yang berlatar belakang konflik adat marga Mahuze di Merauke—kini Provinsi Papua Selatan. Atas penggunaan tanah adat mereka untuk pembangunan proyek MIFEE (Merauke Integrated Food Energy and Estate), tahun 2014.
Menurut Dendhy, The Mahuze,”Ini cerita soal lumbung pangan di Merauke. Sekarang mau dibangun pabrik gula dua juta hektare. Siapa semua dibalik semua itu? Oligarki, politik dalam negeri,” ujarnya.
Mengapa Dandhy mengatakan, film documenter adalah jalan sunyi. Sebab, menurutnya, tidak banyak orang yang bikin. Apalagi mengapresiasi.
Kata Dandhy,“Selama ini documenter hanya dikenal filmnya aktivis dan para mahasiswa. Di putar di tempat-tempat terbatas. Tidak bisa masuk bioskop.”
Pada sesi diskusi, Fransiska dan Nelius—bagian dari komunitas film documenter Papuan Voices sempat menanyakan mengenai beberapa film-film documenter tentang Papua yang digarap Dandhy dan kawan-kawan. Kemudian diketahui, tidak bisa ditanyangkan di televisi nasional. Tanya Fransiska dan Nelius,”Adakah cara lain untuk bisa ditayangkan selain di televisi,”?
Diakui Dandhy, memang film documenter tentang Papua, sulit masuk televisi nasional.
Karena dianggap keras. Alasannya, Papua masih aktif melakukan perlawanan.
Tapi, sekarang kata Dandhy,”Dengan adanya teknologi. Kita bisa diputar melaui media youtube.
Dan sebagai pembuat film harus bertanggungjawab atas semua karya yang dibuat. Dan saya ingatkan untuk pembuat film agar terus bergerak. Jangan takut.”
Menurut Dandhy, film documenter punya keakuratan yang mengalir. Tidak seperti nonton berita. Tidak juga seperti mendengar pendeta berkotbah.
“Dokumenter adalah cara kita mengemas yang serius dan penting. Film documenter sebagai sarana untuk menyampaikan pesan. Dan juga,harus banyak melakukan riset dan sumbernya jelas,” ujar Dandhy.
Disinggung soal biaya produksi yang tidak murah. Pesannya,“Ada baiknya dimulai dengan dengan cara melihat momen dan mengambil potongan-potongan gambar-gambar pendek dan disimpan. Itu akan menjadi bahan film documenter kemudian.”
Dikatakan juga, penting sekali sebelum membuat film documenter. Diawali dengan membuat riset mendalam tentang ide film yang akan diangkat dalam film documenter.
Festival Film Papua yang berlangsung tanggal 7-9 Agustus 2024 di ibu kota Provinsi Papua Pegunungan, Wamena,Jayawijaya.
**