Press Release

GPRP Menolak Transmigrasi ke Tanah Papua

Elyas Hindom (Tengah) bersama anggota GPRP

Menyimak kondisi tanah Papua Barat yang kian mencekam. Orang Asli Papua semakin merasa terancam karena perampasan segala Sumber Daya Alam (SDA) masih terus terjadi. Setiap detik terus terjadi penggusuran tanah milik masyarakat adat, pembabatan hutan skala luas, masifnya investasi, kebijakan negara yang terus mengabaikan keberadaan masyarakat (OAP), nasib masyarakat adat yang terus dibelenggu kekuasaan yang otoriter, diskriminasi, kriminalisasi, teror, intimidasi, pembunuhan, transmigrasi, pendropan militer, serta banyaknya pelanggaran HAM yang terus terjadi di seluruh tanah Papua Barat.

Realitas tersebut disambut protes dan perlawanan dari rakyat Papua melalui berbagai organisasi pelopornya, baik dari organisasi gerakan perlawanan, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mahasiswa, komunitas-komunitas dan masyarakat adat. Namun ruang perlawanan demokrasi itu selalu dibungkam dengan pendekatan militer dan hukum (UU) yang memihak pada penguasa.

Belum membaik kondisi ini, sebaliknya Presiden terpilih Prabowo Subianto melalui Mentri Transmigrasi Muhammad Iftitah Suryanagara kembali melancarkan program transmigrasi ke beberapa wilayah di Papua Barat pada 2024. Para transmigran ini tersebar di 10 wilayah yakni kabupaten Sorong, kabupaten Teluk Wondama 2 wilayah, kota Manokwari, kabupaten Fakfak 2 wilayah, Jayapura, kabupaten Keerom, dan 2 wilayah di Merauke.

Fokus pada tujuan transmigrasi yang dikatakan berbeda pada era Soeharto (memindahkan langsung dari satu wilayah ke wilayah lainnya), Prabowo Subianto (lebih menunggu permintaan kebutuhan SDM dari Pemerintah Daerah wilayah tujuan transmigrasi). Selanjutnya Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, Agus Harimurti Yudhoyono (khusus di Papua program transmigrasi akan mengutamakan perpindahan penduduk lokal).

Menyikapi pernyataan presiden Indonesia Prabowo Subianto, Menteri Transmigrasi Muhammad Iftitah Suryanagara dan Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur Agus Harimurti Yudhoyono relevan dengan program transmigrasi ke 7 wilayah di Papua tentu sangat bertentangan sekaligus membawa dampak yang sangat serius terhadap Orang Asli Papua (OAP).

Transmigrasi pasca presiden Soeharto yang dimulai sejak 1960 di Papua telah menggeser keberadaan masyarakat adat. Orang asli Papua yang mendiami wilayah pesisir, tempat-tempat strategis kini sudah bergeser ke belakang dikarenakan padatnya para transmigran. Transmigrasi ini kemudian mengubah banyak hal seperti nama tempat atau kampung, nama jalan, pengikisan identitas, mempengaruhi kebudayaan asli OAP, sampai pada tingkat jumlah kepadatan di wilayah-wilayah tertentu akhirnya menjadi mendominasi OAP dan mengakibatkan jumlah OAP menurun drastis sehingga disitulah penguasaan mulai terbentuk. Selain itu juga, banyak aspek yang menjadi perhatian serius.

Diakhir 2024 presiden Prabowo Subianto kembali melancarkan program transmigrasi dengan maksud tujuan yang katanya berbeda dengan masa kepemimpinan Soeharto.

Alasan program transmigrasi ke 7 wilayah di Papua ini terletak pada “kebutuhan SDM”. Yang menjadi pertanyaannya ada apa dengan Sumber daya manusia (SDM) Papua?. Jika SDM yang dimaksudkan belum maksimal kenapa tidak melakukan perbaikan pada bidang pendidikan.

Tujuan transmigrasi ini sangat tidak logis dengan situasi Papua saat ini. Semisalnya guru yang diminta malah militer yang didatangkan, demokrasi yang dituntut malah kebijakan sepihak yang dikeluarkan, sebaliknya SDM Papua yang tidak diperhatikan serius oleh negara malah mengupayakan transmigrasi sebagai penunjang kebutuhan suatu daerah. Program transmigrasi ini jelas dilakukan guna merumuskan genosida dan penguasaan terhadap suatu bangsa dan juga mempengaruhi berbagai sektor.

Di Fakfak keberadaan masyarakat adat juga sedang tergeser dari hak hidup dan kekayaan alam dan juga keberadaan penduduk luar terus mendominasi kekuatan politik praktis sehingga mempengaruhi kebijakan daerah yang terbentuk miring terhadap orang asli. Kabupaten Sorong sangat miris ketika melihat kependudukan yang mana lebih banyak orang luar (pendatang) yang sudah menguasai daerah perkotaan bahkan sedang merambat ke pinggiran kota. Sepanjang pertokoan terlihat anak-anak asli Papua menjadi gelandangan, dalam ruang ekonomi masyarakat asli memiliki jarak yang sangat jauh dan persaingan yang sangat ketat sehingga mempersulit ekonomi masyarakat lokal, penguasaan tanah serta penggusuran yang masif terjadi dan tenaga kerja hampir rata-rata diisi oleh para pendatang (yang bukan asli Sorong/Papua).

Kabupaten Keerom juga sama halnya ketika dilihat dari ketenagakerjaan seperti di areal perkebunan, ruang pemerintahan politik praktis juga kebanyakan dipegang atau dikuasai oleh orang luar yang bukan asli Papua. Bahkan orang luar yang kemudian kembali menguasai lahan-lahan dan mempekerjakan orang asli, lantas banyak pengaruh yang berdampak buruk pada keberadaan orang asli di Keerom. Di Manokwari sangat miris sebelum program transmigrasi yang dilakukan oleh presiden Prabowo, sebelumnya pasca Daerah Otonomi Baru (DOB) disaat kepemimpinan presiden Joko Widodo itu sudah ada dipersiapkan kurang lebih 10 perkampungan di sepanjang jalur ke SP dan terpasang papan nama dengan bertulisan “Kampung Persiapan” dan ini tentu akan diisi oleh para transmigran. Ini akan mempengaruhi keberadaan penduduk asli di Manokwari.

Selain itu, Teluk Wondama juga demikian sama hal yang terjadi dibeberapa daerah lain di Papua tentang ekonomi politik yang secara sepihak diakomodir langsung oleh orang luar dengan dalil kesejahteraan masyarakat, padahal ketika dianalisa ternyata dalam ekonomi dan politik kependudukan tersebut sedang membangun kekuatan untuk mendominasi orang asli diberbagai sektor. Di Jayapura juga mengalami perubahan drastis dan itu bukan semata pembangunan terhadap infrastruktur dan manusianya namun ketika melihat keberadaan orang asli Jayapura dalam hal ekonomi justru semakin terhimpit, selain itu untuk mempertahankan tanah mereka pun sudah semakin sulit dikarenakan tingkat kebutuhan dasar yang juga semakin mendesak akhirnya hak kepemilikan menjadi dikorbankan dan dampaknya orang asli sendiri menjadi kesulitan. Hal-hal ini bukan terjadi begitu saja tetapi dipengaruhi oleh kepentingan ekonomi politik, kepentingan investasi yang memicu terjadinya perubahan drastis berdampak buruk terhadap penduduk asli Jayapura.

Berikut adalah Merauke, daerah yang sedang berada dalam gempuran investasi dan lagi-lagi program transmigrasi menitik fokus ke wilayah ini, lantas keberadaan masyarakat adat semakin terhimpit. Perampokan tanah-tanah adat milik masyarakat adat (marga/suku) yang dilakukan perusahaan perkebunan, perusahaan kayu dan Proyek Strategis Nasional (PSN) masif terjadi di Merauke. Perlawanan untuk merebut kembali hak-hak tersebut namun negara melalui pemerintah daerah setempat terus mempersulit perjuangan masyarakat adat bahkan pendekatan militer yang digunakan untuk membatasi perjuangan masyarakat adat. Merauke, berbicara soal kependudukan tidak berbeda jauh dengan Sorong. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk luar yang terus membanjiri kedua wilayah ini, sehingga terciptanya pengangguran dan kemiskinan kerap terjadi pada orang asli. Bahkan persaingan yang terus tumbuh dan ditambah lagi dengan melemahnya UU Otsus akhirnya orang asli menjadi terkucil di rumahnya sendiri.

Hal-hal ini terjadi bukan semata faktor malas atau menolak pembangunan yang bertolak belakang dengan apa yang menjadi kepentingan atau identik dalam masyarakat adat. Tetapi rentetan situasi yang berdampak buruk terhadap orang asli Papua yang kini mengubah kehidupan dan nilai-nilai hidup suatu bangsa adalah pengaruh dari kebijakan dan konsep negara guna hanya fokus pada pengerukan sumber daya alam untuk penumpukan kekayaan penguasa. Orang Asli Papua akan menjadi penonton, tersingkir, terbelakang, kehilangan identitas, sempitnya ruang hidup serta hak atas tanah adat akan dikuasai negara melalui berbagai program dan salah satunya yang terjadi hari ini adalah program transmigrasi.

Menyikapi pernyataan presiden Prabowo Subianto, Menteri Transmigrasi, Menteri Bidang

Infrastruktur dan dengan Kondisi Papua Barat saat ini maka kami Gerakan Perjuangan Rakyat

Papua (GPRP) menegaskan bahwa ;

  1. Menolak dengan tegas program transmigrasi karena berpotensi menjadi bagian dari upaya genosida orang asli Papua.
  2. Tanah Papua bukan tanah kosong tetapi dimiliki oleh masyarakat adat Papua tidak bisa diijadikan tempat penampungan bagi para transmigran, sebab penambahan penduduk akan berdampak pada penguasaan budaya, penguasaan tanah dan penguasaan ruang hidup secara ekonomi maupun politik.
  3. Menolak kebijakan negara yang berdalil kesejahteraan dan pembangunan, karena itu hanyalah tipu daya terhadap rakyat bangsa Papua.
  4. Kami meminta negara-negara terkait dan Bank Dunia penjamin dana bagi program transmigrasi untuk mengehntikan bantuan kepada Indonesia karena merugikan orang asli Papua.
  5. Migrasi penduduk 50 tahun terakhir ke Papua telah jelas-jelas sebagai agenda kolonialis dan bukan untuk kebaikan orang asli Papua.

 

Fakfak, Papua Barat, November 2024

Gerakan Perjuangan Rakyat Papua (GPRP)

 

Elyas Hindom

Sekretaris Jenderal

 

Baca Juga

Peringati Hari Masyarakat Adat AMPERA PS Mendesak Hentikan Semua Investasi Besar di Merauke

Redaksi Kalawai

Solidaritas Mengecam Tindakan Kekerasan Terhadap Aktivis Pembela Lingkungan di Papua

Redaksi Kalawai

Komnas HAM Didesak Terbitkan Rekomendasi Hentikan PSN Merauke

Redaksi Kalawai

Leave a Comment