
Melihat kenyataan pada paruh abad ke-21, dunia semakin mencemaskan: sistem-sistem ekonomi dan politik tidak lagi dibangun semata-mata untuk kesejahteraan rakyat, melainkan menjadi instrumen hegemoni dan dominasi yang bersifat struktural dan sistematis.
Persaingan pasar yang semakin liar, ketidaksesuaian nilai produksi dengan kebutuhan rakyat, serta pengelolaan hak milik pribadi melalui kekuasaan koersif adalah cerminan dari bagaimana wilayah dan sumber daya alam dijadikan alat kontrol oleh segelintir kelompok dominan.
Perkembangan masyarakat menuju kompleksitas telah membawa serta peningkatan kebutuhan yang beragam. Dalam proses ini, terbentuklah struktur kelas yang menghasilkan fragmentasi sosial atau yang dikatakan fenomena, di mana hubungan dan integrasi antar anggota masyarakat menjadi lemah atau bahkan terputus, sehingga menciptakan kelompok-kelompok yang terpisah-pisah.
Hal ini terjadi karena berbagai faktor, seperti perbedaan budaya, agama, ras, bahasa, atau kepentingan yang berbeda, yang menyebabkan masyarakat tidak lagi merasa menjadi satu kesatuan yang utuh. Ketimpangan dalam distribusi sumber daya dan pemenuhan kebutuhan menciptakan arena perebutan kekuasaan antar kelompok sosial. Dominasi pun dilegalkan atas nama kekuasaan. Dalam kerangka ini, oligarki muncul sebagai kekuatan terorganisir dari segelintir elite pemilik kekayaan yang mampu menguasai struktur ekonomi, lembaga sosial, bahkan jaringan intelektual.
Pemikiran Karl Marx menjelaskan bahwa sejarah masyarakat manusia ditandai oleh pertentangan kelas yang dipicu oleh penguasaan atas alat produksi. Dari masyarakat primitif hingga kapitalisme modern, “kekayaan dan kekuasaan” selalu menjadi pemicu utama fragmentasi sosial. Dalam masyarakat kontemporer, oligarki merupakan bentuk modern dari dominasi tersebut—kelompok kecil yang mengendalikan kekayaan dan kekuasaan politik, serta menjadikan negara sebagai alat eksploitasi.
Sejalan dengan pemikiran Engels, negara tidak dapat dipandang netral. Sejak masa perbudakan, feodalisme, hingga kapitalisme modern, negara berfungsi sebagai instrumen penindasan oleh kelas dominan terhadap kelas-kelas lainnya. Ia bukanlah penyelesai konflik sebagaimana diklaim oleh paradigma liberal, tetapi justru pelestari ketimpangan struktural.
Kondisi ini sangat nyata di Papua. Sebagai wilayah yang kaya akan sumber daya alam, Papua telah lama menjadi medan tarik-menarik kepentingan politik dan ekonomi. Modernisasi yang seharusnya membawa kesejahteraan justru memperparah ketimpangan: eksploitasi besar-besaran terhadap alam, marjinalisasi masyarakat adat, dan kerusakan ekosistem menjadi bagian dari proses dominasi kekuasaan oleh elite oligarki. Mereka tidak hanya menguasai sektor-sektor strategis seperti pertambangan dan infrastruktur, tetapi juga membangun jaringan kekuasaan bersama negara, militer, dan korporasi.
Dominasi tersebut diperkuat melalui praktik hegemoni sebagaimana dijelaskan oleh Antonio Gramsci, yakni melalui pembentukan kesadaran kolektif yang dikendalikan oleh elite melalui media, regulasi hukum, dan simbol-simbol pembangunan. Masyarakat diarahkan untuk menerima struktur kekuasaan yang timpang sebagai sesuatu yang normal dan tak terhindarkan.
Ketika oligarki masuk ke dalam sistem demokrasi, situasi menjadi semakin rumit. Kekuasaan ekonomi mulai menentukan arah politik. Di Papua, demokrasi elektoral tidak lagi mencerminkan aspirasi rakyat, tetapi menjadi panggung kooptasi oleh elite yang memiliki sumber daya besar. Rakyat kecil terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka sendiri.
Lebih jauh, perlawanan masyarakat adat terhadap eksploitasi tanah ulayat kerap dijawab dengan pendekatan koersif dan represif. Aparat keamanan menjadi alat utama untuk membungkam resistensi demi melindungi investasi. Ketika jalur hukum dan negosiasi tertutup, keadilan sosial dan hak-hak dasar masyarakat Papua tergerus secara sistematis.
Papua tetap menjadi wilayah yang menyimpan kontradiksi besar antara kekayaan sumber daya alam dan kemiskinan struktural yang dialami rakyat selama kurang lebih sudah 64 tahun. Alih-alih menjadi lokus pembangunan berkeadilan, Papua justru dijadikan objek dominasi oleh kekuatan oligarki yang terorganisir. Negara, militer, dan kapital swasta menyatu dalam sebuah sistem dominasi yang menyingkirkan masyarakat adat dari tanah dan hak-hak historis mereka.
Berangkat dari realitas ini, artikel ini bertujuan untuk mengurai bagaimana hegemoni dan dominasi oligarki bekerja secara sistemik di Papua. Dengan menggunakan pendekatan teori kritis—terutama dari Marx, Gramsci, dan Jeffrey A. Winters—tulisan ini akan menganalisis bagaimana kekuasaan oligarki tidak hanya hadir dalam bentuk dominasi fisik, tetapi juga dalam bentuk dominasi simbolik, ideologis, dan kultural yang kompleks.
Ekspansi Oligarki di Papua
Proses ekspansi kekuasaan oligarki di Papua bermula sejak masa Orde Baru. Pemerintahan Soeharto menandatangani kontrak karya dengan PT Freeport McMoran pada tahun 1967, dua tahun sebelum Papua secara formal dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang penuh kontroversi. Sejak saat itu, Papua menjadi medi nanan eksploitasi yang dilegitimasi negara demi akumulasi modal.
Militer memainkan peran kunci dalam menjamin keamanan investasi. Kekuatan bersenjata diposisikan sebagai pelindung kapital, bukan rakyat. Kolaborasi antara negara, militer, dan korporasi menjadi fondasi sistem oligarki yang bertahan bahkan hingga masa Reformasi. Meski Orde Baru runtuh, struktur kekuasaan lama hanya bertransformasi, bukan lenyap.
Pada masa Reformasi, munculnya Otonomi Khusus (Otsus) memberi harapan semu. Elite lokal yang baru muncul sering kali menjadi perpanjangan tangan kepentingan modal nasional dan internasional. Oligarki berubah bentuk: dari sentralistik menjadi desentralistik, tetapi tetap mempertahankan logika eksploitasi yang sama.
Era Joko Widodo menandai fase baru dari dominasi oligarki melalui pembangunan infrastruktur skala besar. Jalan Trans Papua, perluasan bandara, dan proyek strategis nasional membuka jalan bagi ekspansi kapital yang lebih luas. Dengan terpilihnya Prabowo Subianto sebagai Presiden 2024–2029, kekhawatiran akan semakin menguatnya kontrol oligarki menjadi sangat nyata, mengingat kedekatannya dengan militer dan konglomerasi bisnis.
Ekonomi Papua dan Hegemoni Oligarki
Perekonomian di Papua menjadi cermin dari dominasi sistemik oligarki. Pemerintah Indonesia membentuk kemitraan dengan pemilik modal (kapitalis) dan melibatkan militer sebagai pelindung kepentingan ekonomi-politik. Konsentrasi kekayaan dan kekuasaan yang terakumulasi menyebabkan masyarakat akar rumput kehilangan kekuatan. Oligarki mengendalikan struktur ekonomi Papua melalui dua strategi utama: hegemoni dan dominasi.
Informasi hegemonik disebarkan melalui media massa, ruang publik, dan program-program pemerintah untuk membentuk opini masyarakat dan mencegah perlawanan. Menurut Gramsci, hegemoni adalah kepemimpinan moral dan filosofis yang dicapai melalui konsensus aktif masyarakat. Tujuannya adalah mengarahkan persepsi masyarakat terhadap masalah sosial dalam kerangka oligarki, melalui institusi negara, ekonomi, dan masyarakat sipil.
Di sisi lain, dominasi diwujudkan melalui kontrol paksa—baik dengan militer, birokrasi, maupun regulasi hukum. Pendekatan militer di Papua bukan hanya sebagai penjaga keamanan, tetapi sebagai alat pengontrol sosial yang mendukung kepentingan kapital. Penyebaran transmigran, dominasi produk luar, dan penguasaan budaya lokal adalah bagian dari upaya menundukkan masyarakat Papua.
Oligarki dan Struktur Sosial di Papua
Oligarki telah merombak tatanan sosial di Papua. Masyarakat adat yang dulunya hidup dalam sistem komunal dan egaliter kini mengalami marginalisasi hebat. Struktur kekuasaan yang baru menempatkan elite lokal sebagai mitra modal nasional dan internasional. Mereka bukan pembebas, tetapi bagian dari struktur penindas baru.
Politik elektoral yang berbiaya tinggi membuat kekuasaan politik hanya bisa diakses oleh mereka yang memiliki modal. Maka, demokrasi justru menjadi alat konsolidasi oligarki. Perwakilan rakyat tidak lagi mencerminkan aspirasi rakyat, melainkan kepentingan pemilik modal. Proyek pembangunan, meskipun masif, tidak menjawab kebutuhan masyarakat akar rumput.
Media dan lembaga pendidikan pun digunakan untuk mengaburkan realitas ketimpangan. Narasi pembangunan, nasionalisme, dan modernitas dijadikan dalih untuk melegitimasi penguasaan tanah adat dan sumber daya. Fragmentasi sosial—baik berdasarkan etnis, agama, maupun status sosial—dipelihara untuk melemahkan solidaritas rakyat.
Oligarki tumbuh dari konsentrasi kekayaan dan tetap bertahan melalui kontrol atas sumber daya ekonomi dan politik. Ketimpangan (gap) antara orang kaya dan rakyat biasa menjadi sangat ekstrem. Dalam sistem demokrasi modern, oligarki justru semakin berkembang. Demokrasi yang seharusnya menyempitkan stratifikasi sosial justru memperluasnya, karena partisipasi politik mensyaratkan kekuatan finansial. Politik berbiaya tinggi membuat kandidat politik bergantung pada sponsor dari kalangan oligark.
Kesenjangan luar biasa berarti perbedaan yang sangat besar antara orang kaya dan orang biasa (rakyat kebanyakan). Zaman Roma Kuno Orang-orang terkaya (500 orang teratas) memiliki kekayaan 10.000 kali lebih besar dibandingkan rakyat biasa. Artinya, kalau orang biasa punya 1 koin, orang kaya bisa punya 10.000 koin. Zaman Modern di Amerika Serikat Kesenjangan makin besar: orang terkaya punya 20.000 kali lipat kekayaan rakyat biasa. Jadi, kalau orang biasa punya 1 dolar, orang kaya bisa punya 20.000 dolar. Di Indonesia Kesenjangan ini lebih ekstrim lagi: orang terkaya bisa memiliki kekayaan hingga 630.000 kali lebih besar dari orang biasa. Kalau rakyat biasa punya Rp1.000, maka orang terkaya bisa punya Rp630.000.000.
Dapat disimpulkan secara sederhana bahwa orang kaya memang selalu lebih kaya dari rata-rata orang. Tapi perbedaannya sekarang jauh lebih besar, terutama di negara berkembang seperti Indonesia. Ini yang disebut sebagai kesenjangan luar biasa—dan ini bisa berdampak pada keadilan, kesempatan kerja, pendidikan, dan stabilitas sosial. Fakta ini menunjukkan bahwa konsentrasi kekayaan juga beriringan dengan konsentrasi kekuasaan.
Oligarki di Papua: Dari Orde Baru hingga Reformasi
Papua merupakan salah satu wilayah paling kaya akan sumber daya alam di Indonesia, namun paradoksnya, masyarakat Papua justru mengalami ketimpangan yang mendalam, marginalisasi struktural, dan berbagai bentuk kekerasan negara. Situasi ini tidak dapat dilepaskan dari peran oligarki—sebuah sistem kekuasaan oleh segelintir elite ekonomi dan politik yang menguasai sumber daya dan kebijakan negara. Artikel ini menelusuri bagaimana oligarki berkembang dan beroperasi di Papua, mulai dari era Orde Baru, masa transisi Reformasi, hingga periode pemerintahan Presiden Joko Widodo dan prediksi tantangan yang mungkin muncul di era Presiden Prabowo Subianto.
Orde Baru: Awal Penguasaan Terstruktur pada masa Orde Baru (1966–1998), Papua mulai masuk ke dalam lingkaran oligarki nasional dengan penandatanganan kontrak karya Freeport Indonesia pada 1967, bahkan sebelum Papua secara formal dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 yang sarat kontroversi. Pemerintahan Soeharto memfasilitasi masuknya korporasi multinasional dan kroni bisnis yang dekat dengan kekuasaan untuk mengeksploitasi sumber daya Papua. Militer menjadi aktor penting dalam memastikan kelancaran proyek-proyek ekstraktif dengan dalih menjaga keamanan nasional. Di sinilah muncul kolaborasi erat antara militer, negara, dan perusahaan swasta—cikal bakal oligarki yang mapan. Masyarakat adat didorong keluar dari tanah ulayat mereka melalui kooptasi atau tindakan represif.
Reformasi: Harapan Semu dan Konsolidasi Oligarki Baru. Masa Reformasi yang dimulai pada 1998 memberikan harapan akan perubahan, termasuk bagi Papua. Otonomi Khusus (Otsus) diberikan sebagai bentuk kompromi untuk meredakan tuntutan kemerdekaan dan menjanjikan peningkatan kesejahteraan. Namun dalam praktiknya, Otsus sering kali hanya menjadi alat legitimasi elite lokal yang baru untuk mengakses dana besar dari pusat. Kehadiran oligarki di era reformasi mengalami transformasi: dari sekadar aktor pusat ke munculnya elite lokal yang bersekutu dengan kepentingan modal nasional dan asing. Mereka menguasai sektor konstruksi, tambang, dan infrastruktur dengan dalih pembangunan. Sayangnya, pembangunan ini sering tidak memperhatikan aspek keberlanjutan ekologis dan hak-hak masyarakat adat.
Era Jokowi: Pembangunan Infrastruktur dan Penguatan Oligarki. Pada masa pemerintahan Joko Widodo (2014–2024), Papua menjadi prioritas dalam agenda pembangunan nasional, terutama melalui program percepatan infrastruktur. Jalan Trans Papua, perluasan bandara, dan pembangunan kawasan industri digencarkan sebagai strategi integrasi nasional dan pemerataan ekonomi. Namun, pembangunan tersebut membuka peluang besar bagi korporasi besar dan para taipan infrastruktur untuk menguasai proyek-proyek strategis, seringkali mengorbankan hak-hak masyarakat adat. Perluasan tambang dan proyek sawit juga meningkat pesat. Di balik retorika pembangunan, kekuasaan oligarki semakin menguat lewat kemitraan antara elite lokal, militer, dan investor. Pendekatan keamanan tetap menjadi strategi utama menghadapi protes masyarakat, termasuk dalam penanganan demonstrasi anti-rasisme tahun 2019 dan gejolak politik terkait pemekaran provinsi baru di Papua. Di sini, oligarki bersekutu dengan negara untuk mempertahankan stabilitas demi investasi.
Menuju Era Prabowo: Ancaman Pelanggengan Oligarki. Meskipun Orde Baru telah tumbang, sistem reformasi tetap membuka ruang bagi oligarki untuk memperluas pengaruhnya. Sistem barter dan ekonomi komunal tradisional digantikan oleh ekonomi pasar uang yang dikendalikan oleh elit modal. Politik ekonomi Papua yang sebelumnya berjalan secara adat dan kolektif, kini tergantikan oleh eksploitasi besar-besaran. Pemerintahan Jokowi menjadi fase di mana oligarki tumbuh subur hingga ke pedesaan. Menurut Jeffrey A. Winters, oligarki Indonesia bersifat ekstraktif dan memiliki pola “bagi-bagi kekuasaan” demi menjaga stabilitas elit.
Prabowo Subianto, sebagai Presiden terpilih 2024–2029, memiliki latar belakang militer dan hubungan kuat dengan kelompok bisnis nasional. Isu Papua kemungkinan besar tetap ditangani dengan pendekatan keamanan, sementara pembangunan ekonomi akan semakin digenjot. Dengan konsentrasi kekuasaan politik dan ekonomi yang semakin menyatu, ada kekhawatiran bahwa Prabowo akan memperkuat sistem oligarki yang telah terbentuk sebelumnya. Agenda pertahanan yang keras dan pembangunan infrastruktur skala besar bisa membuka peluang eksploitasi baru atas tanah Papua oleh kelompok bisnis yang terafiliasi dengan elite kekuasaan.
Perlawanan Rakyat dan Krisis Hegemoni
Meski demikian, perlawanan dari masyarakat Papua terus tumbuh. Gerakan mahasiswa, aktivis hak asasi manusia, gereja, dan masyarakat adat mulai membentuk kesadaran kritis terhadap dominasi oligarki. Penolakan terhadap pemekaran provinsi dan proyek-proyek ekstraktif menjadi bagian dari gerakan kontra-hegemoni.
Namun, perjuangan ini dihadapkan pada tantangan besar: represifnya aparat negara, kooptasi elite lokal, dan kurangnya kesatuan gerakan. Fragmentasi internal sering kali melemahkan daya dorong politik perubahan. Meski begitu, benih-benih krisis hegemoni sudah mulai terlihat: masyarakat tidak lagi percaya sepenuhnya pada narasi pembangunan yang disodorkan negara.
Untuk itu, gerakan kontra-hegemoni harus dibangun dengan basis rakyat. Pengorganisasian masyarakat, pendidikan politik akar rumput, dan solidaritas lintas identitas menjadi kunci untuk membangun kekuatan alternatif yang mampu melawan dominasi oligarki.
Oligarki sebagai Masalah Struktural
Dapat disimpulkan bahwa Oligarki di Papua bukanlah fenomena baru, melainkan warisan sejarah yang bertransformasi seiring pergantian rezim. Dari Soeharto hingga Jokowi, dan kini Prabowo, sistem kekuasaan selalu melibatkan aktor-aktor ekonomi dan militer dalam eksploitasi Papua. Masalah utama bukan hanya soal ketimpangan ekonomi, tetapi juga dominasi politik dan kultural yang mengikis hak-hak dasar orang Papua. Mengatasi masalah ini tidak cukup dengan pendekatan pembangunan, tetapi membutuhkan transformasi struktural: redistribusi kekayaan, penguatan hak masyarakat adat, dan desentralisasi kekuasaan yang sesungguhnya. Tanpa itu, Papua akan terus menjadi ladang subur bagi oligarki, sementara rakyatnya tetap terpinggirkan dalam negeri mereka sendiri. Negara Indonesia selama ini belum mampu membendung dominasi oligarki yang merusak nilai-nilai Pancasila dan konstitusi. Demokrasi dan hukum berjalan secara simbolis. Oligarki telah mengorganisasi dirinya dan menunggangi semua aspek kehidupan: ekonomi, politik, hukum, dan sosial. Di Papua, hasilnya adalah eksploitasi sumber daya, dominasi militer, pembekuan hak milik rakyat, dan marginalisasi masyarakat adat. Oligarki di Indonesia bukan sekadar kelompok orang kaya, melainkan struktur kekuasaan yang mengontrol distribusi sumber daya dan arah kebijakan negara. Jika sistem ini tidak dirombak, maka kesenjangan sosial akan terus melebar dan demokrasi hanya menjadi kedok bagi dominasi kapital.
Mengatasi persoalan Papua tidak cukup dengan pendekatan pembangunan teknokratis. Diperlukan transformasi struktural yang mencakup redistribusi kekayaan, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, serta desentralisasi kekuasaan yang sejati. Jika tidak, maka Papua akan tetap menjadi ladang subur bagi eksploitasi, sementara rakyatnya terus terpinggirkan di atas tanah mereka sendiri.
Oligarki bukan sekadar orang kaya, melainkan struktur kekuasaan yang menyusup ke dalam setiap lini kehidupan ekonomi, politik, hukum, hingga budaya. Jika sistem ini tidak dirombak, maka demokrasi akan tetap menjadi topeng yang menutupi wajah ketidakadilan.
Saatnya rakyat Papua bersatu menolak segala bentuk penjajahan baru yang dibungkus dalam kemasan pembangunan dan investasi. Kita tidak boleh lagi tunduk pada kekuatan oligarki yang merampas tanah, hutan, dan martabat atas nama kemajuan. Hegemoni bukan tak terkalahkan—ia bertahan hanya selama kesadaran rakyat dibungkam.
Bangkitlah! Lawan koalisi penguasa dan pemilik modal yang menjarah Bumi Cenderawasih demi keuntungan segelintir elite. Tegakkan hak atas tanah adat, lingkungan hidup, dan keadilan sosial! Hentikan militerisasi dan kekerasan yang melanggengkan penjajahan terhadap rakyat Papua.
Kita membutuhkan gerakan rakyat yang solid, kesadaran kelas, dan terorganisir—yang mampu menumbangkan dominasi oligarki dan merebut kembali kedaulatan dari tangan kapitalis dan negara-borjuis. Perlawanan adalah hak, perjuangan adalah kewajiban.
Papua bukan tanah kosong! Papua adalah tanah hidup yang harus dibebaskan dari cengkeraman kekuasaan oligarki.
*Penulis artikel bertanggung jawab penuh atas isi dan substansi artikel yang dimuat di media ini
Referensi :
Bocock, Robert. 2011. Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni. Yogyakarta: Jalasutra.
Efriza. 2009. Ilmu Politik, Dari Ilmu Politik Sampai Sistem Pemerintahan. Bandung: Alfabeta.
Fahmi, Irham. 2010. Pengantar Politik Ekonomi. Bandung: Alfabeta.
Indikator Papua Tanah Damai; Versi Masyarakat Papua. Jaringan Damai Papua.
Mulyanto, Dede. 2015. Di Balik Marx Sosok dan Pemikiran Friedrich Engels. Tangerang Selatan, Serpong: IndoProgress.
Schwab, Klaus. 2019. Revolusi Industri Keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Suseno, Magnis, Franz. 2019. Pemikiran Karl Marx Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
https://IlmuGeografi.com/Ilmu-Sosial/Pemerintahan-Oligarki.
https://www.portalberita.co.id/oligarki-dalam-industrialisasi-hutan-adat-papua
https://www.gemagazine.or.id/2024/07/08/papua-dikepung-eksploitasi/
https://indoprogress.com/2018/07/freeport-dan-hilangnya-kedaulatan-rakyat/