Artikel

Kalah Pileg, Tidak Perlu Mengumbar Kebencian Apalagi Rasis

Pasca pemilihan umum (pemilu) serentak baik presiden (Pilpres) maupun legislatif (Pileg) 14 Februari 2024  dilaksanakan. Kita mulai melihat beragam komentar negatif tentang terlipilihnya wakil-wakil rakyat Papua di tingkat kota, kabupaten, provinsi maupun yang mewakili Papua di Senayan, Jakarta. Terutama karena banyak di hiasasi nama-nama orang non Papua. Beragam komentar yang bernada kesal terhadap proses pileg lebih ramai di Papua ketimbang membahas terpilihnya Prabowo Subianto menjadi Presiden Indonesia melalui hasil quick count. Kemenangan seorang yang paling bertanggung jawab pada berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) baik penculikan dan penghilangan aktivis 1998 hingga operasi militer di Mapenduma Papua. Sepertinya, mau seburuk apapun otoritarianisme yang mungkin di kembalikan oleh mantan menantu Soeharto ini, sama sekali tidak menarik mereka-mereka di sini.

Marah dan kesal pada proses Pileg di Papua ini dialamatkan kepada oknum-oknum politisi non Papua yang berhasil meraup suara luas hingga lolos menjadi mewakili Papua di tingkat  kota, Kabupaten, Provinsi, maupun ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) di Senayan, Jakarta. “ Woi Pencuri, tidak cukup ka kam datang ambil semua sekarang kalian ambil jatah kami, datang ambil semuanya dan kini mengambil hak keslungan kami sebagai orang Papua, rakus kekayaan alam dan kini ingin memonopoli jabatan politik yang seharusnya hanya orang Papua yang isi”. Masih banyak lagi lainnya. Berbagai bentuk sindiran dan kemarahan proses pileg yang di tujukan kepada politisi non Papua itu dapat kita lihat dalam postingan berbagai platform media sosial hingga diskusi diberbagai ruang dan di para-para.

Sindiran-sindirian kepada non Papua ini menjadi bias dan menyasar umum. Seolah-olah semua orang non Papua mimiliki karakter seperti itu, atau kemenangan politisi non Papua di dapil Papua karena kontribusi suara warga non Papua, tanpa menganilisis faktor-faktor penentu kemenangan calon tertentu seperti money politic, praktik kolusi, korupsi, dan nipotisme (KKN), hingga kepentingan negara menempatkan mereka di sana. Sindiran-sindiran itu juga bernada rasis dan salah alamat, karena warga non Papua bukan warga negara asing yang tidak di izinkan ikut pileg maupun pilkada, sebab de jure dan de facto Tanah Papua adalah bagian dari Republik Indonesia saat ini, Papua bukan negara yang proses demokrasinya hanya akan diikuti oleh orang Papua sendiri. Ini adalah Pileg di bawah konstitusi republik Indonesia yang tidak berlaku batas-batas suku ras, bahkan agama. Berapapun politik identitas mau dikumandangkan, tidak akan bisa merubah ketetapan konstitusi yaitu Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Pemilu No 7 Tahun 2017, UU kependudukan No 23 Tahun 2006 yang mengikat secara nasional. Apalagi status otonomi khusus Papua selama ini memang tidak berguna.

Maka jika kalah dalam konstelasi politik perebutan kursi legislatif, akuilah kekalahan itu sebagai seorang politisi Indonesia asal Papua yang baik. Akuilah bahwa kekalahan tersebut bagian dari bentuk tidak ada kesiapan anda, Dewi Fortuna tidak memihak anda, sehingga tidak menimbulkan kekisruhan dengan menyebarkan fitnah, rasis, dan ujaran kebencian, karena hanya akan memupuk konflik horisontal. Konflik-konflik sosial sesama rakyak kecil sama sekali tidak akan menguntungkan perjuangan pembebasan di Papua. Kecuali jika secara segaja dan dengan massif di “mainkan” untuk mengadu domba rakyat kecil di Papua.

Kekalahan siapapun politisi Papua pada pemilu kemarin tentunya dipengaruhi banyak sebab mendasar, tidak punya kesiapan finansial, tanpa relasi kuasa, massa pendukung, atau mungkin rakyat sudah terdidik pada semua proses demokrasi ini. Karena siapapun yang akan terpilih di parlemen tidak akan ada faedahnya bagi kehidupan rakyat sehari-hari. Harga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan melambung tinggi, harga sembako yang terus meroket, biaya pendidikan yang kian mahal, masyarakat adat akan kehilangan tanah secara cuma-cuma, sedangkan para dewan terhormat yang sudah terpilih akan tunduk pada koalisi partai yang ikut merancang semua itu. Dewan Papua dan non Papua di Parlemen tidak akan berguna, keduanya akan menjadi borjuis baru yang hanya tunduk kepada penguasa kepada partai dan kepada presiden terpilih nanti, yaitu Prabowo Subianto.

Mau sampai kapan politik identitas terus di goreng di tiap pilkada dan pileg Papua bahwa musuh orang Papua adalah non Papua. Padahal, setelah pileg berakhir rakyat kecil ini akan kembali ke jalanan dan di pasar-pasar untuk berjualan, akan kembali bekerja sebagai buruh pabrik, buruh pertokoan, buruh perkebunan, menjadi buruh bangunan dan bongkar muat di pelabuhan, kembali kepada rutinas bersama sehari-hari di sekolah, di kampus, di gereja, di masjid dan kantor-kantor tanpa ada sekat-sekat identitas politik dan kebencian rasialis itu. Karena apa, karena rakyat kecil itu orang biasa-biasa yang selalu di perdaya setiap momentum politik tertentu.

Sebab itu, kesadaran politik rakyat menjadi sangat penting dalam menyikapi dinamika politik tiap pilkada dan pileg, yang sengaja di permainkan oleh para politisi yang gagal, atau mungkin di hembuskan oleh intelejen sebagai kontra revolusi dari gerakan-gerakan pebebasan Papua yang mulai melihat peran rakyat Indonesia di Papua. Bahwa persatuan rakyat Papua dengan dukungan luas rakyat Indonesia di Papua akan melemahkan negara dan sistem yang dia bangun selama ini. Terutama dengan memoblisasi rakyat Indonesia ke Papua sejak 1970 sampai sekarang, hanya untuk di sebarkan di wilayah-wilayah investasi, menjadikan mereka tenaga kerja murah, menempatkan penduduk migrasi ke daerah pedalaman yang menjadi basis gerakan bersenjata secara sengaja agar menjadi korban perang, membangun komunitas masyarakat yang baru sebagai upaya peleburan berbagai kebudayaan antara suku dengan tujuan menghilangkan akar-akar kebudayaan masing-masing atau salah satu menjadi dominan terhadap kebudayaan lain. Sama seperti Papua, mereka tentu tidak ingin terlepas dari akar kebudayaan mereka, kehilangan tanah, dan mengalami kesulitan-kesulitan hidup hingga terpaksa menerima tawaran-tawaran negara dan kapitalis ke Papua.

Migrasi penduduk adalah misi dan strategi senyap dari praktik kolonialisme untuk memperluas ekspansi kapitalisme tanpa tidak dengan cara-cara kotor, seperti pembantaian pribumi lebih dahulu. Buah dari praktek kolonialisme dan kapitalisme itu sedang kita saksikan sekarang ini. Bagaimana persaingan dan perebutan kekuasaan oleh para politisi yang sebentar lagi menjadi cukong-cukong, kelas borjuis, pembantu setia negara dan pemodal untuk terus menyandera rakyat Papua dalam ketidaktahuan, memelihara politik identitas, jadikan sebagai “bom waktu” untuk kemudian hari. Sebaliknya juga berlaku bagai para politisi Non Papua yang terpilih mereka tidak benar-benar mewakli audiensinya warga non Papua tetapi penguasa demi untuk bisnis dan pengembangannya.

Maka dengan membangun narasi sesat dan kebencian setiap akhir pileg dan pilkada tidak akan menyelesaikan persoalan-persoalan di Papua. Tidak akan mendorong kesadaran politik rakyat, tidak membangun solidaritas antara rakyat Papua dan non Papua, justru rakyat menjadi saling curiga, dan takut untuk bersatu.

***

 

Baca Juga

Cerita Baprock: Dari Perbatasan Timor Leste ke Perbatasan Papua Nugini

Yason Ngelia

Film Dokumenter  adalah Jalan Sunyi, Tontonannya Aktivis dan Mahasiswa

Alfonsa Wayap

Triwarno Purnomo dan Ide Pemindahan Makam Theys Eluay

Ryan Kewet

Leave a Comment