Analisis HarianPelatihan

Ketika Pilkada Bertemu Adat: Antara Harapan dan Keterbatasan Masyarakat Adat

Warga memasukan kertas suara saat memberikan hak suaranya pada Pemilu 2019 di Distrik Libarek Wamena, Jayawijaya, Papua, Rabu (17/4/2019). ANTARA/Iwan Adisaputra

Momen Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) selalu menjadi kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang dianggap mampu membawa perubahan. Namun, bagi masyarakat adat ini adalah momen penting untuk memastikan bahwa pemimpin daerah yang akan terpilih nantinya memiliki komitmen untuk melindungi hak-hak masyarakat hukum adat. Disisi lain, situasi tersebut menghadapkan masyarakat adat pada suatu dilema. Dilema yang dimaksud adalah, bagaimana masyarakat adat menjaga tradisi dan kearifan lokal sambil berpartisipasi dalam proses politik modern yang kerap menggunakan adat sebagai instrumen untuk mendapatkan kursi kekuasaan dengan melanggar nilai-nilai dan kebudayaan masyarakat adat.

Sebagai pihak yang memiliki hak atas tanah dan sumber daya alam, masyarakat adat terus menghadapi tantangan dalam menavigasi sistem politik, utamanya Pilkada. Di satu sisi, Pilkada menawarkan harapan bahwa hak-hak mereka akan diakui dan dilindungi oleh pemimpin terpilih. Namun disisi lain, proses politik yang berpedoman pada sistem demokrasi dengan mengedepankan suara individu, berbenturan dengan tradisi masyarakat adat dalam mengambil keputusan yang dilakukan secara kolektif melalui musyawarah adat. Musyawarah adat adalah inti dari pengambilan keputusan dimana kepentingan komunitas diutamakan. Namun ketika Pilkada, mereka dihadapkan pada sistem yang memisahkan suara individu dari komunitas. Tidak jarang ditemukan bahwa setiap komunitas masyarakat adat memiliki pandangan politik yang berbeda. Perbedaan cara pandang tersebut tidak pernah diselesaikan melalui musyawarah adat yang menjadi kebiasaan mereka. Sehingga masyarakat adat tidak memiliki posisi politik yang kuat dan juga menimbulkan keraguan apakah mereka benar-benar memilih pemimpin yang peduli pada perlindungan hak-hak masyarakat adat.

Kurangnya akses terhadap informasi dan pendidikan politik, menjadikan banyak anggota komunitas masyarakat adat belum sepenuhnya memahami hak-hak politik mereka dalam sistem demokrasi modern. Infrastruktur yang kurang memadai di wilayah adat juga membuat proses pemilihan semakin sulit dijangkau. Mengingat masyarakat adat masih hidup dengan tata kelola tradisional, namun terus dipaksa mengikuti aturan main politik modern yang tidak selalu menghargai sistem adat mereka. Ketegangan ini membuat banyak dari mereka merasa teralienasi dari proses Pilkada yang sebenarnya ditujukan untuk memberikan kesempatan kepada seluruh rakyat, termasuk masyarakat adat.

Hak suara masyarakat adat dalam Pilkada sering kali tidak maksimal karena berbagai kendala, termasuk kurangnya informasi dan sosialisasi politik, serta tantangan administratif seperti sulitnya mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan hak politik yang diakui secara formal. Padahal sebagai bagian dari negara, masyarakat adat harusnya memiliki hak yang sama dalam menentukan pemimpin daerah yang dapat mewakili kepentingan mereka.

Situasi lain adalah kesenjangan antara tradisi adat dan demokrasi modern. Dalam struktur adat kepercayaan terhadap pemimpin biasanya didasarkan pada nilai-nilai yang dijunjung tinggi dalam adat seperti kearifan, kemampuan menjaga keseimbangan alam, serta kedekatan dengan komunitas. Sementara itu, demokrasi modern lebih menekankan pada popularitas dan program kerja kandidat. Keterwakilan masyarakat adat dalam jabatan politik juga masih terbatas, minimnya perwakilan dari komunitas adat menjadikan aspirasi mereka sering terabaikan. Tidak ada calon kandidat kepala daerah yang benar-benar mewakili kepentingan masyarakat adat, sehingga partisipasi mereka dalam politik tidak membuahkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada mereka.

Untuk menjembatani kesenjangan antara masyarakat adat di sistem demokrasi modern saat ini, maka penting bagi pemerintah, penyelenggara pemilu, serta kandidat Pilkada untuk lebih memahami dan mengedepankan nilai-nilai serta kebutuhan masyarakat adat. Salah satu langkah penting adalah meningkatkan partisipasi masyarakat adat dalam proses politik, mulai dari sosialisasi sehingga mereka dapat menggunakan hak suaranya dengan baik. Edukasi politik harus dilakukan dengan cara yang mudah dipahami dan relevan dengan kondisi masyarakat adat. Hal tersebut dilakukan mengingat masyarakat adat harus dilihat sebagai entitas penting yang memiliki hak politik dan kedaulatan atas tanah serta budaya. Integrasi antara tradisi dan demokrasi dapat terwujud jika ada kesadaran dari berbagai pihak akan pentingnya menjaga hak-hak adat dalam proses politik modern. Meskipun menjembatani tradisi dan demokrasi bukanlah hal yang mudah, tetapi dengan komitmen yang kuat dari semua pihak hal tersebut bisa menjadi kenyataan.

Berkaitan dengan eksistensi masyarakat adat yang selalu dijadikan instrumen politik. Dimana calon kandidat kepala daerah seringkali berjanji untuk melindungi hak-hak masyarakat adat serta memperjuangkan kelestarian lingkungan. Namun, setelah terpilih janji-janji tersebut hanya menjadi kata-kata kosong. Kepentingan ekonomi politik yang lebih besar terus mengorbankan kepentingan masyarakat adat, akibatnya mereka kembali menghadapi situasi yang sama atau bahkan lebih buruk daripada sebelumnya. Pemberian izin kepada pemodal seperti perkebunan kelapa sawit, minyak dan gas bumi, nikel, batubara serta program-program strategis nasional lainnya selalu dijadikan alasan untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan pembukaan lapangan kerja. Aktivitas pemodal-pemodal tersebut tidak saja mengubah lanskap alam tapi juga merusak sumber kehidupan masyarakat adat. Tanah dan hutan sebagai sumber penghidupan menjadi titik utama eksploitasi, para pemodal mengambil keuntungan sebesar dan sebaliknya meninggalkan tangisan dan air mata bagi masyarakat adat.

Bukti lain dimana adat dijadikan instrumen politik, dapat kita jumpai pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang berlangsung di Provinsi Papua Barat Daya (PBD). Dimana terdapat kandidat yang bukan Orang Asli Papua (OAP) juga ikut berkompetisi pada pergelaran lima tahunan tersebut, dengan dalil telah diterima dan diakui sebagai OAP oleh komunitas masyarakat adat. Mengenai pengangkatan orang luar menjadi bagian dari komunitas masyarakat adat tersebut, oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya Nomor 29/PUU-IX/2011 dan 93/PUU-XXII/2024 menyatakan bahwa tradisi mengakui orang luar sebagai anggota masyarakat hukum adat dengan segala haknya sebagai anggota masyarakat hukum adat, baik dalam masyarakat hukum adat yang berdasarkan pada genealogis maupun teritorial adalah hal yang lazim dipraktekkan secara turun temurun dalam berbagai masyarakat hukum adat di Indonesia, termasuk di Papua. Sejalan dengan itu MK sependapat bahwa pengakuan orang luar menjadi bagian dari komunitas masyarakat adat tertentu harus harus didasarkan pada pengakuan yang telah memenuhi kriteria, mekanisme, dan prosedur yang sesuai dengan hukum adat komunitas masyarakat adat setempat dan harus dijalankan secara konsisten tapi juga harus diterima sebagai norma adat.

Untuk memenuhi persyaratan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur sebagaimana ketentuan yang termuat dalam UU Otsus Papua, maka beberapa pihak terpaksa harus mendekati masyarakat adat atau marga/klan tertentu untuk dapat diangkat sebagai bagian dari marga/klan tersebut sehingga kepentingan politik mereka dapat berjalan mulus. Pada titik ini ditemukan bahwa, betapa mudahnya aktor-aktor politik menggunakan adat untuk kepentingan mereka, tentunya tidak dengan biaya murah. Pengangkatan seseorang menjadi anak adat seringkali dilakukan pada moment-moment politik, hal tersebut sudah menjadi rahasia umum. Namun dengan cepat kita dapat melihat penghianatan yang dilakukan oleh aktor-aktor politik itu, hal tersebut dapat kita temukan dalam Misi dan Misi mereka yang sama sekali tidak serius menunjukan komitmen mereka terhadap perlindungan hak-hak Masyarakat Hukum Adat.

Berangkat dari situasi tersebut, Masyarakat Hukum Adat Papua harusnya lebih menghormati adat dan budaya nya. Sehingga tidak mudah dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik yang punya kepentingan sesaat lalu menggunakan adat dan melecehkan adat untuk kepentingan mereka.  Masyarakat Hukum Adat Papua harus berani untuk menolak aktor-aktor politik yang ingin memanfaatkan adat dan budaya untuk kepentingannya, tapi juga harus berani untuk tidak lagi memilih calon kepada daerah yang tidak memiliki komitmen terhadap perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat Papua.

 

 

Baca Juga

Kisah Getentiri: Orang-orang yang Dilupakan (Bagian I)

Yason Ngelia

Cerita Baprock: Dari Perbatasan Timor Leste ke Perbatasan Papua Nugini

Yason Ngelia

Perihal Fenomena “Angkat Anak” di Tanah Anim Ha

Natale More Buer

Leave a Comment