Analisis HarianArtikelTokoh

Cerita Baprock: Dari Perbatasan Timor Leste ke Perbatasan Papua Nugini

Foto Arnoldus Bria dan Istri di rumah barak, Kebun II Perkebunan Sawit Tandan Sawita Papua, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Papua, tanggal 22 Januari 2025/ Foto: yason ngelia

Baprock

MALAM HARI, DI AKHIR BULAN OKTOBER 2024 TELFON GENGGAM SAYA BERDERING, TERPAMPANG DI SANA NAMA BAPROCK”. Saya langsung mengenalnya sebagai seorang lelaki paru baya asal Nusa Tenggara Timur (NTT), yang bekerja di PT. Tandan Sawita Papua (TSP) Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, Provinsi Papua.

Suara Baprock terdengar dari seberang telfon, “Ade yason, kaka kita besok mau ke Disnaker[1] Keerom, ade bisa datang sama-sama dengan kami ketemu Disnaker kah? Tujuan kami ketemu, ingin sampaikan masalah, ada satu buruh yang meninggal tetapi perusahaan tidak mau bayar pesangon, alasan perusahaan, katanya dia meninggal di Kampung (NTT), padahal dia kerja bertahun-tahun di sini (TSP), tetapi karena sakit, kemudian pulang lalu meninggal di kampung.”

Setelah mendengar rencana Baprock tersebut, saya tidak memberikan kesedian untuk menemani mereka, karena informasi ini sangat mendadak. Saya berniat meminta bantuan kawan aktivis yang lain. “kaka, besok sa tidak bisa. Nanti sa telfon Harun, de sekarang sudah menetap di Keerom, jadi nanti sa telfon de dulu, kalo de bilang bisa, sa kirim de nomor ke kaka”. “oke, kalau begitu kasi ade Harun pu nomor”, katanya cepat.

Harun adalah aktivis dan filmmaker asal suku Biak yang lahir besar di Keerom, bersama-sama kami membangun kontak dengan Baprock dan kawan-kawan buruh perkebunan sejak 2019 silam, melalui riset, reportase film (Video reportase kami dapat di saksikan di sini).

Setelah berkomunikasi dengan Harun, ia bersedia untuk menemani Baprock ke Disnaker pada esok hari. “Besok sa trada kegiatan, nanti sa temani dorang. Kasi sa pu nomor ke kaka dorang” jawaban Harun meyakinkan. Namun sayang, keesokan harinya, melalui panggilan telfon Harun mengatakan mereka batal ke Kantor Disnakertrans Keerom karena terhalang hujan deras seharian.

Sejak itu, saya tidak lagi berkomunikasi dengan Baprock sampai berakhir tahun 2024.

Laporan riset yang dilakukan dan diterbitkan ELSAM tahun 2020 dan 2022

 

PUKUL TIGA SORE, PADA TANGGAL 22 JANUARI 2025, SAAT SINAR MATAHARI SUDAH KEHILANGAN SENGATANNYA, DAN TIDAK LAGI MEMBAKAR KULIT.  Kendaraan saya melaju pelan, membela lautan kelapa sawit yang terbentang luas, dari Kampung Pitewi, Distrik Arso Timur, Kabupaten Keerom, menuju kebun II Dahlia milik Tandan Sawita Papua (TSP).

Memasuki kebun II, barak-barak buruh TSP terhampar di depan mata. Wajah-wajah lelaki dan perempuan yang letih usai bekerja terlihat didepan pintu kamar yang berjajar, ada pria yang duduk sendirian sambil merokok, ada yang sedang berdiri tegak di samping bak penampungan air, menunggu ember-ember air terisi penuh. Terlihat di sisi lain, perempuan-perempuan berkelompok bersama anak-anak, menciptakan suasana yang hangat dan akrab.

Saya lalu menghentikan laju kendaraan di salah satu barak, pintu kamarnya persis berada di tengah, dekat sebuah pohon besar yang terdapat para-para[2] sederhana setinggi setengah meter. Para-para itu salah satu tempat diskusi, ketika kami aktivis berkunjung ke kebun II. Beberapa buruh yang selama ini mengorganisir kelompok buruh ini sudah meninggal tahun 2022 dan 2023, yaitu Rafel Tjabuy dan Willem Wantik, hari itu ada rasa kehilangan mengenang saat bersama mereka.

Diskusi bersama kawan-kawan buruh di kebun II TSP tahun 2022, saat ketika Rafael Tjabuy masih bersama kami.

Saya menurunkan standar motor perlahan, kemudian melangkah pendek ke arah salah satu pintu barak. Barak adalah rumah-rumah sementara berbentuk panggung, terbuat dari susunan papan dan balok, disediahkan TSP untuk buruh di area Perkebunan I-V. Barak-barak ini sudah mulai rusak di beberapa sisi.

Setiap satu area kebun memiliki 5-8 barak, setiap barak memiliki 10 pintu berukuran sekitar 4 x 6 meter, yang di huni oleh satu keluarga atau lebih. Tentu saja, tidak semua buruh memilih tinggal di barak-barak yang disediahkan TSP, lainnya masih tinggal di kampung mereka yang tersebar dekat lokasi perkebunan TSP.

“Ee, ade Yason”. Langkah pendek saya di sambut seorang yang sedang menunduk sambil membuka sepatu kerjanya. Terlihat wajah lelaki paru baya, berbadan kurus, dengan tinggi sedang itu nampak lesu, tidak seperti biasa. Pria ini selalu ramah, penuh senyum dan energik, terutama tiap kali berjumpa dan saat berbicara hak-hak mereka yang di langgar TSP.

“ade, Yason, untung saja ko datang kami sudah balik dari kampung” Katanya. “iyo kah” saya respon sambil tersenyum.  “Berapa lama di sana”. “dari awal desember”. Kata Baprock, dengan wajah kusam dan nampak capek itu.

Saya berjalan pelan melewatinya, kemudian duduk di bangku terasnya. Setelah sepatunya selesai dibuka, dia menyusul duduk tepat di sebelah kiri saya. Kami mulai berdiskusi ringan, sambil memandang aktivitas tiap-tiap orang di depan kami, sambil menunggu perginya mentari sore, sekaligus nyala lampu di seluruh kebun II itu.

“kaka Telfon waktu itu, yang meninggal itu de pu nama Yuliana Bano, asal dari Malaka usia sekitar 30an, bekerja bagian perawatan selama lima tahun. Selain itu yang baru meninggal adalah Ribka Engelina Sameno asal Kupang bekerja selama tiga tahun di bagian berondololan, dia meninggal karena sakit. Baprock, memastikan nama buruh meninggal itu setelah berlari kecil ke tetangga sebelah barak, yang juga keluarga korban, untuk mengkonfirmasi nama buruh dan perkembangan kasus di perusahan.

Selain itu, Baprock memberikan update berbagai peristiwa di sana, terutama karena setahun ini saya hampir tidak mengikuti peristiwa-peristiwa mereka di lingkungan TSP.

Bentuk rumah barak /Foto: yason ngelia

 

NAMA ASLI DARI BAPROCK ADALAH ARNOLDUS BRIA, LELAKI YANG BERASAL DARI KAMPUNG ANGKAES, KECAMATAN WELIMAN, KABUPATEN MALAKA, PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR (NTT). Lelaki yang saat ini berusia 52 tahun sudah berkeluarga dan memiliki tiga orang anak, ketiganya lelaki. Anak bungsunya berusia sekitar 15 tahun bernama Rocki, yang kemudian menjadi panggilan akrab rekan sejawatnya di perkebunan, dengan panggilan sehari-hari “Bapa Rocki”. Saya kemudian menulis di daftar kontak  saya dengan lebih pendek, “Baprock”.

Selama di kampung halaman, Arnoldus Bria bekerja sebagai petani mengelola tanah dan hasilnya sering di jual. Seperti sayuran, sirih, pisang, dan umbi-umbian. Ini adalah pekerjaan yang bisa mereka lakukan, terutama karena dia dan isterinya tidak pernah bersekolah formal.

Kampung halamannya di Malaka, berbatasan dengan Negara Timor Leste. Menurutnya, saat reformasi, Malaka adalah kabupaten utama yang menampung para penduduk pro Indonesia yang mengungsi sebelum dan setelah referendum kemerdekaan Timor Leste, 1999.

Karena letak geografis yang satu daratan, secara sosial, budaya, mereka memiliki kemiripan termasuk dalam memahami bahasa warga Timor Leste, yaitu Bahasa Tetum. “kami yang juga berbahasa Tetum”. Dia menjelaskan, bahwa mereka warga Malaka yang berada di Perkebunan TSP ini berbicara bahasa yang telah resmi menjadi bahasa nasional Timor Leste tersebut.

Untuk mengubah nasib dan mencoba peruntungan, maka tahun 2011 Arnoldus mengikuti petunjuk dari sanak saudara yang sudah lebih dahulu berada di Keerom, Papua. “saudara dan teman-teman dari kampung bilang, bahwa ada perusahaan baru di buka di sini (Keerom), pasti perlu banyak tenaga kerja”. sehingga Arnoldus Bria dan Istrinya memantapkan niat untuk merantau meninggalkan anak dan keluarganya.

“kami dari kampung tahun 2011, saya dan istri tunggu kapal di pelabuhan Kupang, lalu dengan Kapal Motor (KM) Dobonsolo, berangkat dan singgah di pelabuhan Makasar, di Makasar kami tunggu kapal dua hari. Selama itu, kami tidur di ruang tunggu Pelabuhan, kemudian naik KM Sirimau ke Jayapura.” “Berapa lama dengan Kapal untuk sampai Pelabuhan Jayapura?” “satu mingu dua hari”. katanya, yakin.

“Setelah kami sampai Jayapura langsung ke Arso 12, tinggal dengan keluarga dan bekerja di perusahan sawit (PT.Perkebunan Nusantara/PTPN) II) selama 6 bulan, lalu kemudian pindah ke sini (TSP). Setelah satu tahun bekerja, kami Kembali ke kampung membawah anak-anak”. Kata Arnoldus Bria mengenang tahun pertamanya di Keerom, Papua. Kedua anaknya yang telah dewasa kini telah berkeluarga dan bekerja juga di Perkebunan TSP di Keerom.

Awal bekerja di TSP, Arnoldus dan isterinya bekerja di bagian panen. Dia menurunkan tandan buah sawit sedangkan isterinya memilih berondolan. Berondolan adalah biji sawit, sisa panen yang berceceran di sekitar pohon sawit. Setelah bekerja cukup lama, Arnold dan isterinya pindah ke bagian perawatan, sampai sekarang. Perawatan bertugas pembersihan pohon sawit dan pemberian pupuk serta pembasmi rerumputan sekitar pohon. Perawatan adalah bagian yang sering dipilih para buruh yang telah berusia lanjut di TSP.

tempat beristirahat/foto; yason ngelia

Tandan Sawita Papua di Arso Timur

PERUSAHAN TANDAN SAWITA PAPUA (TSP) ADALAH PERKEBUNAN SAWIT AKTIF DI DISTRIK ARSO TIMUR, KABUPATEN KEEROM.  Keberadaan TSP persis berada di perbatasan negara Papua Nugini (PNG). Dikelilingi kampung-kampung asli seperti Pitewi, Yetti, Sangke, Wembi, Bewan, juga Skowro.

Perkebunan Sawit TSP di Arso Timur, Keerom, Papua/Screenshot video

Karena persis berada di perbatasan RI-PNG, TSP memiliki keunikan, yaitu Bahasa yang digunakan Masyarakat lokal (adat) dan para buruh asli Keerom, mereka sering terdengar berkomunikasi dengan Bahasa nasional PNG, yakni Bahasa Pigin. Bahkan beberapa orang yang pernah ditemui tidak bisa berbahasa Indonesia (melayu papua). Sama hal dengan Arnoldus Bria dan kawan-kawannya dari Malaka, NTT, yang juga berbahasa Tetum.

TSP mulai beroperasi sejak tahun 2008 di atas wilayah adat dari suku Manam di Arso Timur dengan beragam janji manis yang tidak pernah ditepati[3]. Perusahaan ini beroperasi di atas 18.337,90 hektar dengan total lima blok Perkebunan, Kebun I-V. pada tahun 2016 TSP telah memiliki pabrik kelapa sawit (PKS). Menyerap sekitar 800-900 tenaga kerja, sebagian besar adalah buruh harian lepas (BHL). Mereka adalah kelompok buruh insidentil yang rentan tereksploitasi karena tidak memiliki perjanjian kerja yang jelas, tunjungan lainnya yang menjadi hak buruh.

Perusahaan ini memiliki banyak catatan buruk dan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Seperti pemerintah kabupaten Keerom, BPJS Provinsi yang tegas mengatakan TSP  bermasalah, Komisi nasional hak Asasi manusia (Komnas) Perwakilan Papua, LSM Ham di Jayapura juga sering melakukan advokasi beberapa buruh di sana. Terutama untuk kasus-kasus seperti, pengabaian hak BHL, Tunjangan Hari raya (THR), pengabaian APD selama bekerja, hak pekerja perempuan, fasilitas tempat tinggal, fasilitas Pendidikan anak, hak berserikat yang diabaikan, hingga pesangon kepada mereka yang memasuki usia pensiunan.

Arnoldus Bria dan rekan-rekannya dari lima kebun TSP, sering menjadi ujung tombak untuk membawah aspirasi kepada pihak-pihak terkait, Seperti manajemen perusahan, Disnakertrans Keerom dan Provinsi Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) di Kota Jayapura, namun tidak ada satu kasus yang benar-benar diselesaikan. Bantuan advokasi juga datang dari berbagai Lembaga swadaya Masyarakat (LSM) di Jayapura, Komisi nasional Hak Asasi Manusia (HAM) Perwakilan Papua tetapi belum juga ada dampak bagi mereka. Menurut catatan kami di tahun 2022 ada sekitar 7 pertemuan buruh dengan berbagai pihak.

bertemu Komnas HAM Papua tahun 2022/foto:yason ngelia

Selama memperjuangkan hak mereka, Arnnoldus Bria dan rekan-rekan adalah anggota akktif Serikat buruh dari Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) regian perkebunan TSP, kemudian karena kepemimpinan region yang dirasa tidak aktif menyuarakan kepentingan mereka. Mereka lalu bersepakat untuk pindah ke Konfederasi Serikat Buruh Sejahterah Indonesia (KSBSI) awal tahun 2022, dengan ketua region adalah sahabatnya Rafael Tjabuy. Tetapi kemudian KSBSI tidak lagi aktif setelah Rafael Tjabuy meninggal dunia karena sakit malaria Oktober tahun 2022.

Arnoldus Bria saat berbincang dengan kepala Disnakertrans Keerom di Kantor Disnakertrans, 2022/Screenshot video reportase

 

“SAYA SERING PROTES DAN BERJUANG INI BUKAN KARENA BERFIKIR DIRI SAYA SENDIRI TETAPI JUGA UNTUK TEMAN-TEMAN DAN SAUDARA SAYA DARI NTT YANG BANYAK BEKERJA DI SINI“. Ia mengakui bahwa hasil kerja ini cukup membantu dia untuk membangun rumah di kampung halaman, rumah itu akan dia tempat bersama isterinya menghabisi hari tua mereka. Sedangkan sanak saudara mereka yang masih bekerja belum tentu, sehingga diupayakan untuk mendapatkan hak-hak mereka agar tidak pulang kampung halaman dengan sia-sia.

Beberapa tahun ini akan menjadi perjuangan paling berarti mereka para buruh perkebunan TSP yang berusia lanjut, karena kebanyakan dari mereka belum ada kepastian pesangon setelah berhenti bekerja nanti. Bukan hanya Arnoldus Bria dan para buruh asal NTT dan Non Papua lain, ini berlaku sama untuk semua buruh dengan status BHL termasuk para buruh Papua maupun Asli Keerom sendiri.

***

Referensi

  1. Wawancara Arnoldu Bria 22 januari 2025
  2. Yason Ngelia, Dkk. 2020. Baseline Study, Memetakan Kondisi Perburuhan di Perkebunan sawit Tanah Papua. Elsam. Jakarta,
  3. Yason Ngelia, Dkk. 2022. Menyelami Pengelaman Masyarakat Adat Keerom Yang berstatus buruh Perkebunan Sawit: Menelisik Kondisi Hak-hak Buruh di papua dengan Perspektif hak Asasi Manusia. Elsam. Jakarta

[1] Disnaker: Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Keerom

[2] Para-para: adalah istilah lokal Papua untuk tempat duduk atau istirahat sederhana untuk satu atau kelompok orang.

[3] Warta Ham Papua: Jeritan Rakyat dari Arso Timur

Baca Juga

DOB Bukan Solusi: Kritik Terhadap Bupati Kaimana dan Kawan-kawannya

Rudi Jafata

Kalah Pileg, Tidak Perlu Mengumbar Kebencian Apalagi Rasis

Ryan Kewet

Cerita Dari Digul: Ketika Minyak Bumi Sorong Mau Disedot Habis

Yason Ngelia

Leave a Comment