Analisis HarianArtikelKabar dari Kampung

Kisah Getentiri: Orang-orang yang Dilupakan (Bagian I)

Lahan plasma POP B TSE di Kampung Ujungkia/ Foto Yason Ngelia

Orang Awyu Jair di Getentiri

Di pelosok tanah Papua, terdapat sebuah kampung bernama Getentiri, Ibukota Distrik Jair, Kabupaten Boven Digul, Provinsi Papua Selatan. Kampung ini didirikan oleh pemerintah Belanda sejak tahun 1950-an, sebagai pusat administrasi kecamatan dan pelayanan misi Katolik di pesisir wilayah adat Suku Awyu Jair.

Suku Awyu jair adalah bagian dari Suku Awyu atau Awya di Selatan Papua, salah satu suku dengan populasi cukup besar mencapai 20.000 jiwa[1]. Mereka tersebar dari hulu Sungai Digul hinggga berbatasan dengan Suku Yahrai di bagian Selatan, Kabupaten Mappi. Di bagian barat berbatasan dengan Suku Muyu, bagian Timur dengan Suku Mandobo.

Penyebaran suku ini berada di kabupaten Boven Digul hingga ke Kabupaten Mappi. Bahasa Awyu adalah Bahasa berasal dari rumpun Papua yang terdiri dari Sembilan dialek[2]. Mereka hidup secara nomaden dengan dipimpin oleh kepala klan, dengan mata pencarian utama adalah berburu dan meramu, menangkap hasil Sungai, ikan dan udang.

Sedangkan nama “Jair” berasal dari kata Yair, yang merujuk pada kawasan Suku Awyu dengan ciri-ciri dialek yang sama, berbeda dengan Awyu bagian hulu dikenal dengan Awyu Fofi dengan pusat di Distrik Fofi, Boven Digul dan Awyu Edera Distrik Edera Kabupaten Mappi. Uniknya nama Kampung Getentiri ini bukan berasal dari bahasa Awyu melainkan Bahasa Mandobo, yang memiliki arti “bukit yang menjulang tinggi”. Pemberian nama ini terkait dengan perubahan lokasi kampung, yang awalnya direncanakan di Asiki, wilayah Suku Mandobo. Namun, karena topografi yang sulit, lokasi kampung dipindahkan ke Jair.

Kantor Distrik Jair/Foto Yason Ngelia

***

Sejak didirikan, Getentiri telah menjadi rumah bagi berbagai suku bangsa, termasuk suku Muyu dan Mandobo. Mereka menetap di sana untuk bekerja, berdagang, dan membangun kehidupan baru. Pada tahun 1970-1980, suku-suku lain seperti Biak, Sorong, Kei, Toraja, dan Makasar juga mulai menetap di sana. Kehidupan sosial antara suku bangsa di Getentiri sangat harmonis, yang menjadi penunjang pembangunan kampung sejak awal. Contohnya, masyarakat Getentiri dan pemerintah setempat sering mengadakan acara adat, budaya, dan hiburan rakyat menjelang 17 Agustus dan juga Natal untuk memperkuat ikatan social, mempromosikan keberagaman dan toleransi.

Tidak hanya itu sebagai kecamatan di Getentiri memiliki fasilitas menunjang pendidikan dan Kesehatan untuk ke sembilan kampung di bawah administrasi Kecamatan Jair.  Seperti Sekolah Dasar (SD) Yayasan Pendidikan Persekolahan Katolik (YPPK) St Yoris Getentiri dan Sekolah Menengah Atas (SMP) Negeri 1 Jair, memiliki Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) dan tenaga medis yang cukup. Terdapat pula satu asrama putri di bawah pengawasan Pastor Cornelis de Deroij, MSC, pastor Belanda terakhir di wilayah tersebut[3].

Gereja Katolik Getentiri lama saman Misi belanda/ Foto Yason Ngelia

Transportasi utama di sepanjang Sungai Digul adalah kapal ferry yang singgah sekali sebulan dari Merauke. Selain itu, terdapat juga kapal-kapal kecil berbentuk kapsul milik misi katolik, yang dikenal sebagai KM Bupul, dengan versi Bupul I hingga V. Berbeda dengan kapal ferry, KM Bupul melakukan pelayaran ke seluruh pelosok Sungai Digul, menyusuri anak-anak sungai seperti Sungai Kia, Kao, Muyu, Mandobo, dan Mappi, serta mengunjungi kampung-kampung asli di sepanjang sungai. Sayangnya, baru di awal 2000-an kampung baru dialirkan listrik secara terbatas selama 6 Jam, bahkan sampai sekarang.

Ilustrasi kapal Bupul I-V milik misi katolik yang beroperasi di Sungai Digul

Korindo dan Perubahan Sosial

Kondisi sosial masyarakat Getentiri yang tampak stabil dan harmonis mulai mengalami perubahan, terutama di kalangan masyarakat adat pemilik ulayat. Mereka merasa ditinggalkan serta terdiskriminasikan dalam pembangunan sosial, ekonomi dan infrastruktur selama ini. Berbanding terbalik dengan kontribusi mereka sebagai pemilik ulayat yang melepaskan wilayah mereka mendukung pelayanan pemerintah selama puluhan tahun.

Disaat bersamaan mereka menyaksikan bagaimana dampak kehadiran PT. Korindo Group di Asiki, sejak awal 1990-an telah memberikan perubahan yang signifikan terhadap pemilik ulayat di sana. Asiki diubah menjadi sentra industri kayu modern setelah didirikan pabrik pengolahan kayu log menjadi plywood. Sejak itu, Asiki menjadi pusat ekonomi, bisnis, serta secara sosial menjadi “miniatur Indonesia” di Papua Selatan. Ribuan tenaga kerja dari berbagai suku bangsa di Nusantara ini berada di sana. Kampung-kampung asli yang dahulu saling terisolasi terhubung ke sana untuk mencari pekerjaan ataupun menjual hasil kebun dan buruan mereka.

Kantor TSE Group di Asiki/ Foto Yason Ngelia

Walaupun terdapat fakta pelanggaran Ekologis dan hak asasi manusia dari kehadiran Korindo, tetapi pembangunan fisik, serta berbagai transaksi ekonomi yang nyata juga menjadi daya Tarik. Seperti marga-marga pemilik ulayat Mandobo dan Marind dikabarkan menerima uang pelepasan dan dijanjikan berbagai tunjangan dan pembagian hasil. Perusahaan memberikan tunjangan sosial seperti bantuan makanan, beasiswa, biaya kesehatan, pembangunan rumah, air bersih, dan upah bulanan kepada pemilik ulayat. Selain itu, perusahaan juga menyediakan transportasi gratis untuk mereka yang berkunjung dengan berbagai alasan tertentu ke Ibu Kota kabupaten, Boven Digul maupun Merauke. Belum lagi kita berbicara listrik dan air bersih yang dapat di akses selama 24 jam oleh Masyarakat di Asiki, dan yang bermukim di sepanjang jalan operasional perusahan.

Perasaan frustrasi yang mendalam atas kondisi Getentiri telah menciptakan narasi yang sama di hampir semua marga yang ditemui, yaitu: ‘Getentiri, kampung tua yang telah menjadi seperti kuburan tua.

Pelabuhan Pasar Prabu Asiki/ Foto Yason Ngelia

Inisiatif Menghadirkan PT. Tunas Sawa Erma (TSE)

Palm Oil Project (POP) B milik PT. Tunas Sawa Erma (TSE) mulai beroperasi di Kampung Getentiri sejak 25 Agustus tahun 2005. TSE bagian dari Tunas Sawa Erma (TSE) Group yang bergerak di bidang perkebunan sejak tahun 1997 di Boven Digul dan Merauke.

Hingga 2021, TSE Group melalui anak-anak perusahaannya telah memiliki delapan perkebunan kelapa sawit yang berlokasi di Kabupaten Boven Digoel dan Kabupaten Merauke, Papua, serta Kabupaten Halmahera, Maluku utara. [4]Anak-anak perusahaan ini berada di bawah naungan PT Tunas Sawa Erma (TSE), PT Dongin Prabhawa (DP), PT Berkat Cipta Abadi (BCA), PT Gelora Mandiri Membangun (GMM), dan PT Papua Agro Lestari (PAL)[5], dengan total penguasaan lahan mencapai 100.130,79 hektar.

Kantor POP B di Main Camp Getentiri/ Foto Yason Ngelia

Masuknya TSE di Getentiri berdasarkan inisiatfi masyarakat adat tahun 2003, masyarakat adat Getentiri yang terdiri dari lima marga besar dan delapan sub-marga[6] melakukan musyawarah adat untuk mengundang perusahaan masuk ke wilayah mereka. Tujuan utama masyarakat adalah meningkatkan kesejahteraan orang-orang Awyu di Jair melalui perubahan sosial yang lebih baik. Perjanjian awal dengan perusahaan mencakup pembayaran yang adil setelah 5 tahun, sebesar 20 persen kepada pemilik ulayat.

Tidak butuh waktu lama, TSE mengubah wajah Kampung Getentiri. Hutan hujan tropis yang rimbun dan padat, penuh belukar dan sungai-sungai kecil mengalir diseluruh rimba, kini sejauh mata memandang berubah menjadi lautan pohon kelapa sawit. Perusahaan membabat hutan tepat di belakang kampung hingga puluhan kilometer, melanjutkan proyek POP A di Kamp 19, Asiki. Dari Devisi 1-8 POP A, dilanjutkan POB devisi 8-13, total keseluruhan kedua POP adalah 21.474,56 hektar[7].

Pada tahun 2015 POP B  menambahkan dua devisi lagi sekitar 1741 hektar[8] kearah Kampung Ujung Kia, Distrik Ki, sebagai lahan Plasma, dengan janji pembagian hasil kepada Masyarakat adat kedua kampung tersebut. Kini total marga-marga pemilik ulayat di kedua kampung menjadi 28 marga. (Film produksi kalawai Janji Manis POP B dapat di saksikan disini) 

Janji Manis dan Pengharapan yang sia-sia

Selama 20 tahun Masyarakat adat mengeluh karena belum benar-benar mendapatkan manfaat dari keberadaan pekebunan milik TSE itu. Terutama perjanjian pembagijan hasil sebesar 20 persen dan manfaat lain pada bidang Kesehatan, Pendidikan. Penandatangan dan pelepasan pada tahun 2005 silam menurut Masyarakat adalah bentuk “kontrak pakai” selama 35 tahun. Sehingga di awal perushaan hanya memberikan kompensasi kepada berbagai jenis pohon yang mereka tebang, per kubik kayu di bayar Rp.10.000 sedangkan satu rumpun sagu di bayar Rp.5.000.

Papan informasi area sagu di are POP B/ Foto Yason Ngelia

Sedangkan untuk pembangunan rumah anggota marga, penyedia air bersih,  beasiswa yang benar-benar layak belum mereka dapatkan. Pada tahun 2023 dibentuklah koperasi Peran Serta marga yang bertanggung jawab atas pengelolaan lahan plasma. Dan pembagian hasil baru berjalan selama setahun dengan tiga kali pembayaran itupun untuk setiap anggota marga yang berjumlah puluhan bahkan ratusan dianggap masih sangat kurang. Pemberian dana bantuan melalui CSR hanya berjalan selama dua tahun tepat tahun 2012 dan 2013 dan itupun dikelola pihak perusahan dan tidak transparan.

Kantor Koperasi di Main Kamp Getentiri/Foto Yason Ngelia

Untuk Kinerja Koperasi dan Lahan plasma dilakukan kredit atas nama Masyarakat sebesa 92 milyar lebih, dengan angsuran sebesar 10 persen. Hasil kredit tersebut kemudian di pakai sebagai biaya pengelolaan perkebuanan, pendirian koperasi dan pembayaran marga per tiga bulan sekali, dan pemberian bama sebanyak sepuluh karung beras 10 kg untuk setiap sepuluh kepala keluarga. Pelunasan kredit Bank Negara Indonesia (BNI) mengunakan hasil plasma dengan tenggak waktu pembayaran tiap tanggal 25, selama 96 bulan.

Masyarakat mengungkapkan kekecewan Ketika bertahun-tahun tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari kehadiran TSE. Bahkan atas desakan mereka  Perusahaan membuka lahan plasma, itupun dengan hasil kredit pemilik ulayat.

Ekspektasi mereka dari kehadiran Perusahaan yang tidak tercapai, masyarakat adat para anggota marga berbondong-bondong menjadi buruh di Perkebunan sawit. Hal ini harus dilakukan karena sebagian marga telah secara total kehilangan wilayah adat mereka, lainnya memiliki dusun yang tidak terjangkau lagi, hewan buruan yang juga sulit ditemukan, maka satu-satu cara berpenghasilan adalah dengan menjadi buruh di perusahan tersebut.

Tetapi  untuk menjadi buruh Perkebunan sawit pun tidaklah muda, apalagi penyerapan buruh Perkebunan sawit POP B hingga tahun 2023 mencapai 2029 orang saja, dengan pekerja tetap 657 dan tidak tetap 1372. Orang papua yang berstatus buruh tetap sebesar 145 orang dan buruh tidak tetap sebesar 270 orang[9]. Dengan jumlah marga yang banyak kehadiran Perusahaan ini bahkan tidak membuka peluang mereka untuk sekedar bekerja di sana. Generasi muda mengungkapkan kekecewaan mereka untuk menjadi buruh tetap di sana, terutama adanya berbagai stigmatisasi dan diskriminasi. Seperti pemabok, pemalas, sehingga anak asli Awyu sekalipun susah bekerja di POP B.

Buruh perkebunan/ Foto Yason Ngelia

 

Referensi:

  1. Sumberi informasi utama adalah wawancara Masyarakat Awyu jair di Getentiri kurun waktu November hingga Januari 2024
  2. Hidaya, Zulyani. 1997. Ensklopedi Suku bangsa Nusantara. LP3ES

Catatan kaki:

[1] Ensklopedi Suku Bangsa di Indonesia

[2]

[3] https://penakatolik.com/2018/08/14/pastor-coornelis-de-rooij-msc-omk-harus-berani-hadapi-tantangan-tak-boleh-mengeluh/

[4] Liability TSE Group 2015

[5] https://tsegroup.co.id/id/about-us/history-milestone/

[6] Marga Awyu di Getentiri: Habanggi, Wohing, Misa, Ketabang 1, Ketabang 2, Kahong, Wehu 1, Wehu 2. Sub marga itu; Wehu 1, Sub marga Kahong, Sub Marga Ima, Sub marga wehu 2, sama sub marga Kahong, Sub marga Ima.

[7] Mutu certification international https://mutucertification.com/wp-content/uploads/2015/10/Pengumuman-Publik-PT-Tunas-Sawa-Erma-POP-A-dan-POP-B.pdf

[8] https://tsegroup.co.id/id/about-us/history-milestone/

[9] Laporan TSE kepada Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi

 

Baca Juga

Migrasi Penduduk ke Papua, Dengan dan Tanpa Program Transmigrasi

Yason Ngelia

Menggugah Kesadaran: Gerakan Sosial Sebagai Kekuatan di Papua

Yason Ngelia

Kalah Pileg, Tidak Perlu Mengumbar Kebencian Apalagi Rasis

Ryan Kewet

Leave a Comment