ArtikelKabar dari Kampung

Kolonialisme Indonesia dan Quo Vadis Papua Merdeka

Foto: Ratusan pemuda dan mahasiswa asal Papua menggelar aksi demonstrasi di sekitar Mabes TNI AD, Jakarta Pusat, Rabu (28/82019). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Papua Barat, merupakan sebuah kawasan paling kontroversial di Indonesia. Sejak dianeksasi oleh kolonial Indonesia pada tahun 1969 melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), yang hasilnya banyak diperdebatkan, Papua Barat terus mengalami berbagai bentuk pendudukan, penjajahan, rasisme, dan eksploitasi sumber daya alam. Sejarah konflik di Papua Barat dimulai sejak era kolonial Belanda. Pada awal abad ke-20, Belanda mulai memperluas pengaruhnya ke Papua Barat, mengklaim wilayah ini sebagai bagian dari Hindia Belanda. Namun, ketika Indonesia merdeka pada tahun 1945, Papua Barat tidak langsung menjadi bagian dari negara baru ini. Perjuangan untuk memasukkan Papua Barat ke dalam wilayah Indonesia mencapai puncaknya pada awal 1960- an.

Pada tahun 1962, melalui Perjanjian New York yang dimediasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Belanda setuju untuk menyerahkan Papua Barat kepada pemerintahan sementara PBB (united Temporary Eksekutive Admnistration) sebelum akhirnya diserahkan kepada Indonesia. Proses ini memuncak pada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, yang secara luas dianggap penuh dengan intimidasi dan manipulasi. Meskipun demikian, hasil Pepera menyatakan bahwa Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia. Enam dekade lebih Papua Barat telah dikelola Indonesia sebagai wilayah pendudukan, kolonisasi dan eksploitsi sumber daya alam. Dalam periode waktu tersebut, gerakan pembebasan dan konflik bersenjata untuk kemerdekaan Papua masih berlangsung dengan berbagai protes dan perlawanan, walaupun  terjadi secara sporadik.

Salah satu peristiwa politik bersejarah bagi orang Papua adalah 26 Februari 1999, Tokoh Papua  pergi ke Istana bertemu presiden B.J Habibie, dan dibacakan tuntutan politik rakyat  oleh Tom Beanal dengan “ Kembalikan Kedaulatan Kami” sementara  Herman Wayoi Membacakan “ Quo Vadis Papua” Presiden  RI saat itu Habbie, mengatakan kepada delegasi yang diwakilkan dari berbagai elemen dan Komponen. “ Pulang dan Renungkan”

Hasil Perenungan itu, 1 Desember 1999, Upacara Resmi Bangsa West Papua di depan Gedung New Guinea Raad (sekarang Dewan Kesenian) Taman Imbi, Jayapura, bendera Bintang Fajar di kibarkan bersebelahan dengan bendera merah putih dan tidak lebih tinggi dari merah putih. Dilanjutkan Musyawarah Besar Bangsa Papua, 23-26 Februari 2000 dengan Tema: “Jalan Sejarah, Jalan Kebenaran”. Dalam MUBES, mereka menetapkan untuk melaksanakan Kongres Rakyat Papua II.

Kongres Rakyat Papua II dilaksanakan di GOR Cenderawasih Jayapura pada 26-4 Juni 2000. Kongres Papua II ini di hadiri 20.000 ribu orang Papua dari bebagai suku, elemen, komponen baik yang ada di luar negeri maupun dalam negeri. Hasil Kongres Papua II melahirkan beberapa resolusi yang salah satunya adalah “Bangsa Papua telah berdaulat sebagai sebuah bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961”.

Jakarta tidak bisa menjawab tuntutan merdeka rakyat Papua. Permintaan itu menurut Jakarta terlalu berat untuk dijawab sehingga  negara kolonial memberikan Otonomi Khusus bagi Papua (Otsus) dalam rangka mempertahankan Papua sebagai daerah koloni November 2001 tepat 24 tahun yang lalu . Pemimpin Besar Bangsa Papua,  Theys Hiyo Eluay, dibunuh oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Republik Indonesia. Tahun yang bersamaan telah bergulir Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun  2001 tentang Otonomi Khusus (Otsus) bagi Provinsi Papua disahkan oleh Presiden Republik Indonesia, Megawati pada tanggal 21 November 2001. ‘’Jadi, walaupun Thyes dengan kelompoknya berjuang matian- matian untuk kedaulatan sesuai hasil kongres darahnya juga ada di Otsus’’

Untuk mengelola Papua Barat secara lebih terkendali, Pemerintah Indonesia di Jakarta memberikan status Otonomi Khusus sejak 2001 silam dengan melanjutkan berbagai kebijakan hingga yang paling menyerikan adalah negara kolonial sukses meluncurkan 4 provinsi baru serta memaksakan otonomi khusus. Sekalipun  dua puluh tahun pelaksanaan Otsus berjalan tanpa arah. Hal tersebut terbukti dari perampasan sumber daya alam serta ekspansi modal asing atas nama pembangunan, kondisi Rakyat bangsa Papua ibarat masih berjalan  di dalam lorong kegelapan menuju ancaman kepunahan (depopulasi).

Kini kembali rakyat Papua disibukan pada aktivitas politik praktis, jangankan rakyat  mayoritas aktivis justru lebih aktif dalam mendorong proses pesta oligarki dengan alibi sempit yaitu, politik identitas yang kemudian mengotak kotakan sukuisme, kampung isme, daerah isme, dan masih banyak lagi ismenya. Dalam situasi ini gerakan Pembebasan nasional mengalami stagnan, bahkan mundur dua langka ke belakang dan sangat tidak berdaya untuk membendung trik  kolonial, saat bersamaan masing- masing bikin kelompok berdasarkan suku dan daerah . Dari sejarah panjang gerakan di tahun 60-an  hingga saat ini sebenarnya belum bisa disimpulkan bahwa terjadi perpecahan di tubuh gerakan karena perdebatan ideologis, sebab setiap generasi yang muncul terus mempertahankan sejarahnya ketimbang memperdalam perdebatan secara ideologis dalam menemukan konsep dan strategi yang tepat.

Mungkin tahun 60-an dan 70-an ada perdebatan ideologis tapi tidak terbuka sehingga selalu ada pandangan subjektif dengan berbagai sekat Kesimpulan yang tak kunjung usai. Gerekan di tanah air tidak hanya dikontruksikan oleh kolonialsime dan kapitalisme, tetapi juga dari adanya sekat- sekat liar yang mendominasi raga dan pikiran para pejuang yang kuat. Jangankan berdebat kritikan juga tidak boleh, katanya karena musuh tahu arah gerak perjuangan padahal kritikan terbuka dan perdebatan merupakan bagian terpenting dalam mendorong format persatuan yang tidak berlandaskan kepentingan faksi politik

Dengan demikian yang menjadi pertanyaan sekaligus poinnya adalah apakah relevan tidak, Ketika United Liberaration Movemant for West Papua (ULMWP) masih tetap menganut Trias? Politika. Kedua, mengapa persatuan nasional menjadi kebutuhan? Ketiga, bagaimana bentuk persatuan nasional?. Keempat, jika kedudukan Indonensia atas Papua motif ekonomi, maka sektor apa yang menjadi kebutuhan pokok untuk di organisir?

***

Baca Juga

Obituari Bapak Habel Kabak: Kesederhaan Lilin Kecil Dalam Kegelapan

Luis Kabak

Cerita Baprock: Dari Perbatasan Timor Leste ke Perbatasan Papua Nugini

Yason Ngelia

DOB Bukan Solusi: Kritik Terhadap Bupati Kaimana dan Kawan-kawannya

Rudi Jafata

Leave a Comment