Siaran Pers
Mendesak Komnas HAM Menerbitkan Rekomendasi untuk Presiden Menghentikan PSN Merauke
JAKARTA, 14 April 2025 – Koordinator Solidaritas Merauke, Franky Samperante mengatakan Proyek Strategis Nasional (PSN) di Merauke telah melanggar hak hidup, hak masyarakat adat dan merusak lingkungan hidup sebagaimana terkandung dalam konstitusi dan peraturan perundang-undangan.
Franky menduga, proyek PSN Merauke belum memiliki dokumen lingkungan dan persetujuan lingkungan hidup. “Masyarakat terdampak langsung, maupun organisasi lingkungan hidup, tidak dilibatkan sejak awal pembahasan kerangka acuan dan penilaian Amdal dan belum mendapatkan informasi dokumen lingkungan,” kata Franky dalam keterangan pers, Senin (14/4/2025).
Franky menambahkan pelaksanaan PSN Merauke pun terindikasi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Indikasi itu dikuatkan oleh temuan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang menyatakan bahwa PSN untuk ketahanan pangan dan energi di Kabupaten Merauke, Papua Selatan, memiliki potensi pelanggaran HAM. Temuan Komnas HAM itu dimuat dalam surat rekomendasi Komnas HAM atas PSN Merauke nomor 189/PM.00/R/III/2025. Surat rekomendasi itu ditujukan kepada Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke pada 17 Maret 2025.
Surat tersebut merespons pengaduan masyarakat adat suku Malind, Maklew, Khimaima, dan Yei pada 23 Oktober 2024, dalam dampingan Franky Samperante dari Yayasan Pusaka dan Teddy dari LBH Papua Pos Merauke. Pengaduan tersebut terkait dugaan pelanggaran hak masyarakat adat, hak hidup, hak atas tanah dan wilayah adat, hak atas mata pencaharian, hak atas lingkungan hidup, akibat pelaksanaan PSN di Kabupaten Merauke Papua Selatan.
“Dugaan perampasan dan penyerobotan kawasan hutan serta lahan ulayat milik masyarakat adat tersebut berdampak langsung terhadap kelangsungan hidup mereka,” kata Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro dalam sambutannya saat konferensi Solidaritas Merauke pada 14 Maret 2025 di Kota Merauke, Papua Selatan.
Sebagai tindak lanjut pertemuan itu, Komnas HAM meminta keterangan kepada Kementerian ATR/BPN, Kementerian Kehutanan, Pemerintah Provinsi Papua Selatan, Pemerintah Kabupaten Merauke, dan Panglima TNI melalui surat nomor 976/PM.00/SPK.01/XI/2024 pada 18 November 2024.
Dalam surat Komnas HAM disampaikan 13 temuan penting, antara lain: PSN Merauke mencakup lahan seluas kurang lebih dua juta hektare, yang sebagian besar berada di kawasan hutan dan wilayah adat di Distrik Tanah Miring, Animha, Jagebob, Eligobel, Sota, Ulilin, Malind, dan Kurik. Kawasan hutan dan wilayah adat tersebut termasuk hutan sagu, hutan alam dan rawa-rawa, yang menjadi sumber penghidupan masyarakat adat.
Temuan Komnas HAM menyatakan bahwa legalitas kepemilikan hak ulayat masih bermasalah karena selama ini hanya didasarkan pada pemetaan partisipatif yang tidak memiliki kekuatan hukum yang kuat. Tapal batas kepemilikan hak ulayat juga hanya ditentukan berdasarkan kesepakatan antarwarga.
Pemerintah menetapkan area konsesi untuk perkebunan di atas kawasan Hutan Produksi yang dapat Konversi (HPK) dan pertanian di kawasan Hak Pengguna Lain (HPL), belum sepenuhnya melibatkan masyarakat adat secara substansial. Beberapa perusahaan telah mengajukan dan memperoleh Hak Guna Usaha (HGB), seperti PT Global Papua Abadi dan PT Murni Nusantara Mandiri, yang bergerak di bidang energi dan perkebunan di Distrik Tanah Miring dan Jagebob.
Temuan Komnas HAM menyatakan bahwa masyarakat adat belum pernah dilibatkan dalam proses penetapan HPK dan HPL. Padahal lahan tersebut merupakan bagian dari hak ulayat mereka termasuk pelibatan dalam penentuan skema perencanaan praktik pertanian yang berkelanjutan. Masyarakat adat menghadapi kesulitan dalam memperoleh pengakuan atas hak tanah mereka karena belum adanya regulasi yang jelas terkait legalitas kepemilikan hak ulayat.
Menurut Franky, pemanfaatan hutan yang tidak tepat dalam pelaksanaan proyek ini dapat mengganggu keseimbangan dan keberlanjutan ekosistem yang menopang kehidupan masyarakat adat. Dampak lainnya adalah bencana alam seperti banjir di beberapa kampung di Distrik Eligobel, Distrik Sota, Distrik Kurik, Distrik Malind, Distrik Animha, dan Distrik Jagebob. Selain bencana banjir, skema proyek pertanian berskala besar yang tidak sesuai juga dapat menyebabkan hilangnya sumber pangan lokal seperti sagu, ubi, dan hasil hutan lainnya.
Komnas HAM juga menyoroti keterlibatan TNI di Merauke. Di distrik Ilwayab, sebanyak 300 unit alat berat diturunkan menggunakan kapal dan helikopter serta didampingi TNI. Terdapat 11 pos TNI yang mengawasi proyek sehingga menimbulkan ketakutan di kalangan masyarakat adat, Pada 10 November 2024, sebanyak 2.000 pasukan tiba di Merauke untuk mendukung proyek ini.
Adanya penambahan jumlah pasukan TNI di sekitar kawasan hutan dan lahan adat yang terdampak oleh proyek PSN. Meskipun alasan utama penempatan pasukan ini adalah sebagai tenaga pendukung PSN, hal itu justru menimbulkan ketegangan. Penempatan pasukan dalam jumlah besar menambah rasa ketakutan masyarakat adat, yang merasa diawasi, adanya ancaman kekerasan fisik dan intimidasi terhadap warga.
Atas berbagai temuan itu, Komnas HAM menilai proyek PSN Merauke memiliki potensi pelanggaran HAM. Potensi pelanggaran HAM itu meliputi hak atas tanah dan wilayah adat, hak atas lingkungan yang sehat, hak atas ketahanan pangan, hak atas partisipasi dalam pengambilan keputusan, dan hak atas rasa aman (perlindungan dari konflik dan kekerasan).
Komnas HAM juga menilai proyek di Merauke bertentangan dengan regulasi nasional yang mengatur pengelolaan dan perlindungan hak masyarakat adat. Proyek ini juga tidak selaras dengan konvensi ILO yang mengamanatkan agar masyarakat adat menentukan nasibnya sendiri dalam penggunaan lahan adat.
Komnas HAM mendesak Pemerintah perlu segera mengevaluasi proyek dengan memastikan partisipasi masyarakat adat dalam setiap pengambilan keputusan. Perlu kebijakan yang lebih jelas untuk melindungi hak masyarakat adat dalam menghadapi ekspansi investasi di Merauke. Perlukan pendekatan yang lebih inklusif dan berbasis hak asasi manusia dalam proses perizinan dan implementasi proyek agar hak masyarakat adat tetap terjamin
Atas berbagai temuan dan penilaian itu, Komnas HAM menyusun rekomendasi yang ditujukan kepada Gubernur Papua Selatan dan Bupati Merauke.
“Surat rekomendasi ini disampaikan sebagai bentuk penghormatan terhadap HAM khususnya masyarakat adat di Merauke,” kata Koordinator Subkomisi Penegakan HAM/ Komisioner Pemantauan dan Penyelidikan/ Komisioner Pengawasan Komnas HAM, Uli Parulian Sihombing, seperti terungkap dalam surat rekomendasi tersebut.
Berikut rekomendasi Komnas HAM:
- Meningkatkan Keterlibatan Masyarakat Adat dalam Perencanaan Proyek. Pemerintah daerah harus melibatkan masyarakat adat secara aktif dalam setiap proses perencanaan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada di wilayah mereka. Semua proyek besar, seperti PSN, harus disertai dengan konsultasi publik dan penerapan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC)
- Melakukan Pemetaan Tanah Ulayat dengan Partisipasi Masyarakat. Pemerintah daerah harus bekerja sama dengan masyarakat adat untuk melakukan pemetaan tanah ulayat yang transparan dan berbasis hukum, guna menghindari peralihan tanah yang tidak sah dan memastikan pengakuan hak atas tanah mereka.
- Pengakuan terhadap Hak Ulayat Masyarakat Adat. Pemkab Merauke dan Provinsi Papua Selatan perlu memperkuat kebijakan yang mengakui hak ulayat masyarakat adat atas tanah dan wilayah mereka, dengan menciptakan regulasi lokal yang melindungi hak-hak tersebut. Hal ini termasuk memperhatikan keputusan terkait penggunaan lahan di kawasan hutan adat dan lahan pertanian.
- Meningkatkan Transparansi dalam Proses Penetapan HPK dan HPL. Proses penetapan kawasan Hutan Produksi yang dapat Konversi (HPK) dan Hak Pengguna Lain (HPL) harus dilakukan secara transparan dengan melibatkan masyarakat adat dalam setiap tahap perencanaan, serta menjamin hak mereka atas tanah adat.
- Memastikan Keberlanjutan Sosial dan Ekonomi Masyarakat Adat.
“Pemerintah daerah harus memastikan bahwa proyek-proyek yang melibatkan penggunaan tanah adat memberikan manfaat yang adil dan menguntungkan masyarakat adat, serta memperhatikan keberlanjutan sosial dan ekonomi mereka,” kata Uli.
Terkait rekomendasi Komnas HAM ini, kami Solidaritas Merauke meminta Komnas HAM mengeluarkan rekomendasi kepada Presiden RI, Kementerian Pertahanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Investasi dan Kepala BKPMN, Kementerian Kehutanan dan Kementerian Agraria Tata Ruang, untuk segera melakukan evaluasi dan menghentikan PSN Merauke, serta memastikan dan mengawasi agar rekomendasi dimaksud dapat dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
“Kami juga mendesak Komnas HAM untuk mengupayakan dan melakukan investigasi mendalam terkait dugaan dan potensi pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam proyek PSN Merauke yang dilakukan secara terencana dan berdampak meluas terhadap kehidupan Suku Malind Anim, Khimahima, Maklew dan Yei di Kabupaten Merauke, semenjak proyek MIFEE, Kawasan Ekonomi Khusus dan kini”, jelas Teddy J. Wakum, juru bicara Solidaritas Merauke.
***
Narahubung:
Franky Samperante +62 811 1256 019
Teddy J. Wakum +62 822 4245 0431