Analisis HarianArtikel

Koperasi Merah Putih: Apa Perlu Kita Curigai?

ilustrasi oleh gemini.ai

Ditengah ramainya perampasan tanah dan perampasan hak-hak masyarakat adat, negara melalui Inpres nomor 9 tahun 2025 membentuk Koperasi Merah Putih.

 “Presiden Prabowo Subianto memimpin rapat terbatas bersama sejumlah jajaran Menteri Kabinet Merah Putih di Istana Merdeka, Jakarta, pada Kamis, 8 Mei 2025. Agenda utama rapat tersebut adalah membahas percepatan pembangunan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih sebagai upaya memperkuat ekonomi desa dan memperpendek rantai pasok kebutuhan pokok masyarakat.”

“Presiden Prabowo Subianto berambisi mendirikan 80.000 Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih. Program ini tertuang dalam Inpres No.9/2025 dan ditandatangani pada 27 Maret 2025 di Jakarta tentang Percepatan Pembentukan Koperasi Desa dan Kelurahan Merah Putih. Koperasi Merah Putih merupakan upaya memperkuat swasembada pangan, pemerataan ekonomi, dan mewujudkan desa mandiri menuju Indonesia Emas 2045. Prabowo menugaskan kementerian dan pemda untuk mengambil peran penting.”

 

Adapun enam instruksi yang diberikan oleh Presiden adalah untuk: Pertama, mengambil langkah-langkah komprehensif yang terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas dan fungsi masing-masing untuk melaksanakan strategi kebijakan masing-masing optimalisasi dan percepatan pembentukan melalui pembentukan, pengembangan, dan revitalisasi 80 ribu Kopdes Merah Putih. Kedua, membentuk Kopdes Merah Putih untuk melaksanakan kegiatan meliputi namun tidak terbatas pada kantor koperasi, pengadaan sembilan bahan pokok (sembako), simpan pinjam, klinik, apotek, cold storage/pergudangan, dan logistik dengan memperhatikan karakteristik, potensi, dan lembaga ekonomi yang telah ada di desa/kelurahan. Ketiga, mengutamakan pengalokasian dan penggunaan anggaran untuk kegiatan percepatan pembentukan 80 ribu Kopdes Merah Putih sesuai dengan ketentuan peraturan-undangan. Keempat , melakukan percepatan pelaksanaan kebijakan optimalisasi strategi dan percepatan pembentukan Kopdes Merah Putih melalui program strategi yang afirmatif, holistik, dan berkesinambungan. Kelima , melakukan strategi percepatan (quick win) dalam rencana kerja kementerian/lembaga (K/L) dan pemerintah daerah (pemda) untuk mendukung pembentukan 80 ribu Kopdes Merah Putih secara terukur, akuntabel, dan efisien dengan tetap memperhatikan pencapaian sasaran program dan kegiatan. Keenam , melakukan pertukaran, pemanfaatan, serta integrasi data dan informasi antar K/L dan pemda dalam perencanaan, pelaksanaan, pengendalian, pemantauan, evaluasi, dan pelaporan pembentukan 80 ribu Kopdes Merah Putih.

Inpres ini menetapkan percepatan pembentukan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih. Melalui Inpres ini diinstruksikan untuk mengambil langkah-langkah komprehensif yang terkoordinasi dan terintegrasi sesuai tugas dan fungsi masing-masing untuk melaksanakan kebijakan strategis optimalisasi dan percepatan pembentukan melalui pendirian, pengembangan, dan revitalisasi 80.000 (delapan puluh ribu) Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih.

Ambisius, negara menggulirkan program Koperasi Merah Putih di 80.000 Desa/kampung dan Kelurahan di seluruh Indonesia berdasarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2025. Program ini diklaim sebagai terobosan ekonomi kerakyatan, penopang distribusi kesejahteraan, swasembada pangan dan simbol nasionalisme ekonomi. Pertanyaan mendasar bahwa apakah Koperasi Merah Putih ini solusi bagi rakyat atau justru topeng dari sistem kapitalisme yang kian menggila, khususnya di Tanah Papua?

Hampir seantero wilayah di Indonesia tidak berada dalam ruang kosong, apalagi di Tanah Papua yang lanskap konfliknya struktural antara kekuatan modal, militer, dan negara yang bercokol diatas penderitaan masyarakat adat. Dalam konteks ini, kemunculan kebijakan Prabowo Subianto dalam program Koperasi Merah Putih ini patut dicurigai sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem ekonomi eksploitatif, karena program ini dibentuk sebagai instrumen penjinakan. koperasi yang dibentuk dalam bayang-bayang Proyek Strategis Nasional (PSN) dan investasi ekstraktif bukanlah koperasi yang membebaskan, melainkan koperasi yang membungkam.

Idealnya koperasi tumbuh dari bawah (bottom-up) dan berbasis pada kearifan lokal, dibangun atas dasar karakteristik wilayah masing-masing agar bisa mampu menjawab kebutuhan suatu komunitas. Namun apa jadinya bila koperasi dibentuk secara top-down oleh negara yang sejak awal berpihak pada kepentingan korporasi? Negara berdalih bahwa hal ini menjadi kuat untuk posisi tawar rakyat, koperasi bisa menjadi instrumen kontrol sosial baru dan alat untuk mendisiplinkan masyarakat agar menerima perubahan sosial yang ditentukan dari luar.

Kita dapat memahami dengan sederhana, kenapa setiap konsep kebijakan negara itu selalu dirancang berdasarkan konsep top-down, bukan bottom-up? Sudah demikian, rakyat dipaksakan untuk menerima konsep tersebut. Disisi Lain, keterlibatan rakyat dalam mengambil keputusan bersama untuk merancang konsep tersebut tidak diberikan kesempatan.  Hal ini sangat terang-terangan menggambarkan simbol ideologi negara yang bertujuan menguasai dan merampas hak kesulungan rakyat demi pembangunan dan kemajuan negara. Secara struktural kerangka perumusan kebijakan nasional diputuskan di pusat kekuasaan Jakarta yang melibatkan Presiden, Kementerian, BUMN, dan Korporasi besar serta alih-alih kapitalisme. Masyarakat tidak dilibatkan dan hanya dijadikan objek pelaksanaan, bukan subjek perencana.

Koperasi Merah Putih ini bukan hal baru tetapi hanya namanya saja yang berubah, sejatinya ia bersifat kapitalistik dalam kerangka negara yang melacurkan dirinya dengan dalih demokrasi dan hukum di mata rakyat dan dunia internasional  hanya untuk melanggengkan kepentingan modal dan kekuasaan.

Konsep ini seringkali menjadi mekanisme kompensasi palsu. Apa lagi kalau dilimpahkan ke Papua itu tentu seperti tanah adat dirampas untuk tambang dan sawit, lalu masyarakat diberi “koperasi” sebagai penenang. Tanpa kendali atas tanah, air, dan hutan, apa arti koperasi? Kalau tidak berubah layaknya seperti monster baja yang menggilas beton berlapis.

Ironisnya, koperasi Merah Putih justru menjadi tameng ideologis dari ekspansi kapitalisme. Simbol Merah Putih digunakan bukan untuk membebaskan, melainkan menutupi neo-kolonialisme ekonomi dalam wajah baru. Koperasi dipakai untuk menyebar partisipatif semu, seolah-olah rakyat dilibatkan, padahal mereka hanya menjadi pelengkap legitimasi.

Jika negara ini benar ingin membangun ekonomi kerakyatan yang adil dan berdaulat, maka langkah pertama bukan mendirikan “koperasi Merah Putih”, tetapi menghentikan lebih dahulu perampasan tanah adat, mengakui hak-hak masyarakat adat, dan membuka ruang demokrasi sejati dan tegakkan hukum seadil-adilnya. Tanpa itu, koperasi Merah Putih akan tetap menjadi proyek penuh retorika yang tidak pernah menyentuh akar persoalan. Ketika tetap dipaksakan terus maka ini adalah ilusi yang dibangun, bukan solusi. Sebab tidak ada keberhasilan dan wujud nyata lahirnya koperasi yang membebaskan di atas tanah yang ditindas. Tidak ada ekonomi kerakyatan sejati didalam sistem kendali oligarki. Maka, bagi rakyat Papua, koperasi hanya akan bermakna jika ia tumbuh dari perjuangan akar rumput, bukan dari instruksi kekuasaan.

Analisis Karl Marx dan Antonio Gramsci tentang Koperasi Merah Putih

Dalam analisis marx, negara bukanlah institusi netral, melainkan alat kelas penguasa untuk mempertahankan kepentingan ekonomi politiknya. Negara bertugas mengatur hukum, stabilitas, dan struktur ekonomi yang menguntungkan kelompok elit termasuk melalui kebijakan publik yang tampak “berpihak pada rakyat.” Koperasi sebagai basis produksi alternatif? Secara teori, koperasi mendekati gagasan Marx tentang kepemilikan kolektif atas alat produksi. Tapi dalam praktiknya, koperasi Merah Putih dibentuk dari atas oleh negara dan dioperasikan dalam sistem pasar kapitalistik yang tidak berubah. Artinya relasi produksi tetap eksploitatif, modal tetap dikuasai elit desa atau pejabat pemerintah, pasar tetap ditentukan korporasi besar, dan hasil produksi rakyat tetap dijual ke perusahaan yang mendikte harga.

Koperasi dalam skema ini bukan alat emansipasi, tapi integrasi rakyat ke dalam sistem kapitalisme dengan cara yang lebih “halus”. Marx menyebut “ideologi” sebagai alat untuk membentuk kesadaran palsu, rakyat diarahkan untuk percaya bahwa sistem yang menindas mereka adalah sah, baik, dan tidak bisa diubah.

Kata “koperasi Merah Putih” dipakai untuk mengaburkan eksploitasi struktural. Negara mengklaim peduli terhadap rakyat miskin padahal pada saat yang sama, tanah dirampas untuk investasi. Rakyat dibuat sibuk dengan “koperasi kecil” sementara korporasi besar menguasai sumber daya. Dengan begitu, kesadaran kritis rakyat dilumpuhkan, mereka tidak lagi melihat akar penindasan, melainkan percaya bahwa koperasi ini adalah bentuk kemajuan.

Menurut Marx, perubahan sejati terjadi ketika kelas pekerja menyadari posisinya dalam sistem produksi dan melakukan perjuangan kelas. Tapi koperasi Merah Putih malah membangun ilusi perjuangan ekonomi, seolah rakyat sedang mandiri, padahal alat-alat produksinya tetap dikendalikan negara dan kapital. Ini adalah bentuk kooptasi perlawanan. Bukan perlawanan terhadap sistem, melainkan penyesuaian ke dalam sistem yang menindas.

Maka ketika Prabowo mengeluarkan Inpres Nomor 9 Tahun 2025, yang terlihat seperti upaya pemerataan ekonomi melalui pembentukan koperasi di 80.000 kampung/desa dan kelurahan, perlu untuk dicurigai dan diantisipasi. Apakah ini sungguh upaya membebaskan rakyat dari penindasan ekonomi, atau justru memperkuat dominasi modal melalui topeng “kerakyatan”?

Antonio Gramsci menjelaskan bahwa dominasi kelas penguasa tidak hanya dijalankan melalui kekuatan militer atau hukum saja, tetapi melalui hegemoni budaya dan ideologis yakni saat kelas bawah secara sukarela menyetujui tatanan yang menindas mereka karena telah diyakinkan melalui pendidikan, media, agama, dan kebijakan publik. Hegemoni terjadi ketika dominasi terlihat seperti kepentingan bersama. Koperasi Merah Putih dibawah Inpres Nomor 9 Tahun 2025 dipromosikan sebagai simbol ekonomi kerakyatan, bentuk pemberdayaan desa, dan perwujudan nasionalisme ekonomi. Namun dalam kerangka hegemoni Gramsci, koperasi Merah Putih ini adalah proyek ideologis negara untuk membangun persetujuan rakyat terhadap sistem ekonomi politik yang tetap dikendalikan oleh elit dan kapital besar. Rakyat diajak merasa ikut berdaulat padahal alat produksinya tetap tidak dikuasai.

Gramsci menyebutkannya bahwa kelas penguasa membangun blok historis, yaitu aliansi politik-ideologi antara negara, kapital, intelektual organik, dan lembaga sosial seperti koperasi. Koperasi Merah Putih ini dapat dibaca sebagai bagian dari blok historis baru, upaya negara membentuk konsensus palsu agar rakyat merasa didengarkan, sementara arah pembangunan tetap dikendalikan elit dan oligarki. Contoh praktik hegemoniknya terjadi seperti investasi sawit/migas di Papua yang dibawah masuk dengan dalih kesejahteraan, negara bentuk koperasi di desa sekitar tambang, masyarakat adat tidak lagi menolak dan melakukan perlawanan karena merasa dilibatkan, padahal tanah adat tetap dieksploitasi, dan hasil utamanya untuk korporasi.

Pemikiran lain yang bisa kita gunakan melalui pandangan James C. Scott untuk mengkritik konsep negara tentang koperasi Merah Putih (konsep top down). Negara cenderung melihat dari atas (high modernist view) dan memaksakan tatanan yang dianggap rapi, efisien, dan rasional, tapi justru merusak tatanan sosial yang sudah hidup lama ditengah masyarakat lokal. James C. Scott menilai bahwa negara atau elit teknokrat membuat kebijakan yang tampak logis dan sistematis misalnya koperasi, peta tata ruang, sertifikasi tanah, dan proyek infrastruktur. Tapi dalam praktiknya, mereka mengabaikan pengetahuan lokal, adat, relasi sosial, dan keseimbangan ekologi.

Hasilnya, proyek pembangunan gagal atau menghancurkan kemandirian masyarakat karena tidak sesuai dengan kenyataan lokal. Relevansinya seperti yang terjadi sekarang, pemerintah pusat membuat koperasi desa atau program revolusi pangan tanpa bertanya pada masyarakat adat, padahal masyarakat punya sistem dusun, kebun sagu, hutan pala, dan hukum adat yang sudah teruji ratusan tahun.

Disisi lain, David Harvey dengan pemikiran “Akumulasi dengan Perampasan” bahwa kapitalisme modern tidak hanya menciptakan kekayaan melalui produksi, tapi juga lewat perampasan yakni merampas tanah, sumber daya, ruang hidup, dan hak-hak masyarakat untuk dijadikan komoditas.

Kenyataan hari ini bisa dilihat bahwa negara dan korporasi menggunakan hukum, proyek pembangunan, dan militer untuk mengambil tanah adat, mengganti hutan dengan tambang atau sawit serta memprivatisasi air, energi, dan ruang publik. Proses ini disamarkan lewat bahasa “pembangunan”, “kemajuan”, atau “kesejahteraan”. Saat proyek sawit, tambang, atau “food estate” dibangun di tanah adat Papua, masyarakat justru kehilangan akses ke ruang hidup. Mereka “diberi” koperasi atau pelatihan usaha kecil, tapi tanahnya sudah berpindah ke investor. Inilah akumulasi dengan perampasan.

“Belajar dari Soeharto”

Kondisi hari ini tidak berbeda jauh dengan Orde Baru yang digambarkan oleh Revrisond Baswir, Deddy Heriyanto, dan Rinto Andriono dalam bukunya “Terjajah di Negeri Sendiri: IMF dan HAM di Indonesia” spesifiknya tentang Sentralisme dalam Pembangunan Neoliberal. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, krisis ekonomi di Indonesia ternyata merupakan krisis terparah di antara beberapa negara yang mengalami nasib serupa. Penyebabnya adalah rapuhnya fundamental ekonomi di Indonesia.

Memang, pada awal terjadinya krisis pemerintah mengatakan bahwa fundamental ekonomi Indonesia masih kuat dan dapat menopang krisis. Akan tetapi, kenyataan menunjukan bahwa fundamental ekonomi Indonesia sangatlah rapuh. Rapuhnya fundamental ekonomi tersebut merupakan cerminan dari paradigma pembangunan yang dipakai oleh Orde Baru, yaitu paradigma pembangunan neoliberal. Mengapa demikian? Karena pembangunan neoliberal memang tidak mempedulikan persoalan fundamental ekonomi. Ia hanya menekankan persoalan penciptaan pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan.

Dalam kebijakannya, paradigma ini dicirikan dengan penciptaan beberapa lokomotif penggerak pembangunan yang terdiri dari usaha-usaha besar (konglomerat). Asumsinya, pemerintah pusat, usaha-usaha besar dan konglomerasi yang merupakan lokomotif, lebih dapat diandalkan sehingga bila lokomotif tersebut berlari kencang ia akan dengan sendirinya menyeret pemerintah daerah dan usaha-usaha ekonomi rakyat sebagai gerbong-gerbong pembangunan. Untuk menopang lokomotif pembangunan berkiprah dalam pembangunan, pemerintah menerapkan kebijakan sentralisasi pembangunan.

Implikasi dari sentralisasi pengelolaan keuangan negara yang sangat berlebihan itu adalah terbatasnya peluang masyarakat untuk turut menguasai faktor-faktor produksi. Dengan terbatasnya penguasaan faktor-faktor produksi oleh anggota masyarakat, kemampuan masyarakat dalam mengendalikan perekonomian menjadi sulit ditingkatkan. Hal ini masih diperparah oleh didominasinya perekonomian Indonesia oleh perusahaan-perusahaan konglomerasi. Ketika kurang satu persen perusahaan-perusahaan konglomerasi telah menguasai lebih dari 60% Produk Domestik Bruto (PDB), peningkatan pengendalian perekonomian oleh masyarakat sulit diharapkan.

Laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata mencapai 7% setiap tahunya), ternyata tidak otomatis menjamin terciptanya peluang kerja secara merata. Tidak jarang terjadi, penciptaan peluang kerja terbatas di sektor modern justru menyebabkan terjadinya pengangguran massal di sektor tradisional. Pengembangan industri batik cetak misalnya telah menyebabkan hilangnya ribuan peluang kerja dalam pembuatan batik tulis. Sementara penyerahan jutaan hektar lahan kepada segelintir konglomerat telah menyebabkan tergusurnya masyarakat adat dari pengelolaan perkebunan rakyat. Akibatnya, kesenjangan industri pertanian, kota-desa dan kaya-miskin cenderung melebar.

Dari perspektif Marx dan Gramsci kita dapat memahami bahwa.

Inpres No. 9 Tahun 2025 bukanlah proyek emansipatoris, tetapi proyek ideologis negara untuk Melegitimasi perampasan sumber daya, Menjinakkan potensi perlawanan rakyat, Menyisipkan nasionalisme dalam bentuk ekonomi yang tetap kapitalistik. Koperasi Merah Putih hanya akan membebaskan jika dibentuk secara kolektif, mandiri, dari bawah, dan sebagai bagian dari perjuangan kelas melawan sistem ekonomi-politik yang eksploitatif. Tanpa itu, koperasi hanya menjadi wajah baru dari kolonialisme ekonomi.

Ketika rakyat mulai sadar bahwa koperasi hanyalah instrumen kapital, maka muncullah “krisis hegemoni”: situasi ketika konsensus mulai retak dan rakyat tidak lagi percaya pada narasi negara. Tugas kaum progresif adalah memperluas kesadaran ini, memperlihatkan kontradiksi antara klaim “koperasi untuk rakyat” dengan realitas perampasan tanah dan marjinalisasi masyarakat adat.

Koperasi Merah Putih adalah wajah baru dari hegemoni negara-kapital. Ia dibungkus dengan narasi kerakyatan, namun tetap menjaga relasi kuasa lama. Dalam analisis Gramscian, ini adalah strategi mempertahankan dominasi lewat persetujuan yang direkayasa secara ideologis. “Jika kita ingin benar-benar membebaskan rakyat, koperasi harus menjadi alat kontra-hegemoni, bukan instrumen integrasi ke dalam sistem yang menindas.”

Jika kita gunakan lensa Scott dan Harvey terhadap kebijakan seperti Inpres No. 9/2025 (Koperasi Merah Putih), maka Itu bukan sekadar proyek pembangunan, tapi alat negara untuk merapikan rakyat menjadi patuh, sambil membuka jalan perampasan sumber daya oleh kapital besar. Apa yang tampak seperti “pemberdayaan” adalah strategi penundukan yang dibungkus rapi. Dalam konteks Papua, jika koperasi dikendalikan oleh elite desa atau tokoh yang berpihak pada negara, maka ia adalah intelektual tradisional. Tapi jika ada pegiat koperasi yang menolak kooptasi negara dan mengorganisir rakyat secara kritis, maka ia adalah intelektual organik.

 *** 

Referensi:

  1. Baswir Revrisond, Heriyanto Deddy, Andriono Rinto. Terjajah di Negeri Sendiri: IMF dan Hak Asasi Manusia di Indonesia. ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. Jakarta. 2003.
  2. Molyneux John. Mana Tradisi Marxis yang Sejati. Rumah Penerbitan Bintang Nusantara. Yogyakarta. 2015.
  3. Resistance, Party Socialist Democratic. Apa yang Diperjuangkan Sosialisme. Bintang Nusantara. Yogyakarta. 2018.
  4. Bocock Robert. Pengantar Komprehensif Untuk Memahami Hegemoni. Jalasutra. Yogyakarta. 2011.
  5. Hakim Al Suparlan. Budaya Lokal dan Hegemoni Negara Legitimasi Kuasa di Balik Kearifan Lokal. Intrans Publishing Wisma Kalimmetro. Malang. 2019.

https://www.presidenri.go.id/siaran-pers/presiden-prabowo-pimpin-ratas-percepatan-koperasi-merah-putih-untuk-perkuat-ekonomi-desa/

https://yogyakarta.bpk.go.id/ambisi-prabowo-bentuk-koperasi-desa-merah-putih/

https://pegandon.kendalkab.go.id/kabardetail/SGxKaU1RanpINTh3UmoxNVBTTENjdz09/instruksi-presiden-republik-indonesia-nomor-9-tahun-2025-tentang-percepatan-pembentukan-koperasi-desa-kelurahan-merah-putih.html

https://peraturan.bpk.go.id/Details/316750/inpres-no-9-tahun-2025

https://perpajakan.ddtc.co.id/sumber-hukum/peraturan-pusat/instruksi-presiden-9-tahun-2025

 

 

 

Baca Juga

Ketika Pilkada Bertemu Adat: Antara Harapan dan Keterbatasan Masyarakat Adat

Bernadina Yamtel

Warisan Perjuangan: Kisah Hidup dan Dedikasi Pejuang Hak-Hak Masyarakat Adat Papua

Yason Ngelia

Kolonialisme Indonesia dan Quo Vadis Papua Merdeka

Kristian Kobak

Leave a Comment