
Oleh Arnold Herman Sama dan Elon Moifilit
Kedua penulis adalah mahasiswa di UNiversitas Nusa Putra Sukabumi, Jawa Barat
Pengantar
Hak asasi manusia adalah hak dasar yang dimiliki manusia sejak manusia itu dilahirkan. Hak asasi dapat dirumuskan sebagai hak yang melekat dengan kodrat kita sebagai manusia yang bila tidak ada hak tersebut, mustahil kita dapat hidup sebagai manusia. Hak ini dimiliki oleh manusia oleh karena ia manusia, bukan karena pemberian manusia, masyarakat atau pemberian Negara. Maka hak asasi manusia itu tidak tergantung dari pengakuan manusia lain, masyarakat lain, atau Negara lain. Hak asasi diperoleh manusia dari Tuhan Yang Maha Esa atau Alam semesta dan merupakan hak yang tidak dapat diabaikan[1]. Dalam sejarah perkembangan hak asasi manusia Dalil-dalil yang biasanya dijadikan tolok ukur sejarah perkembangan Hak asasi manusia meliputi sejarah revolusi rakyat dalam melawan pemerintahan yang bersifat otoriter dan feodal, karena adanya ketidakadilan yang dihadapkan kepada rakyat berupa pelanggaran dan penyepelehan terhadap hak-hak rakyat.
Di Negara barat, pengakuan terhadap hak-hak asasi itu diawali dengan adanya Magna Charta (1215). Kelahiran Magna Charta didahului oleh pemaksaan kepada Raja John Lockland untuk mengakui hak-hak asasi, yang isinya: (1) Raja tidak boleh memungut atau mengadakan pajak kalau tidak dengan izin Dewan Penasehat Raja. (2) Orang tidak boleh ditangkap, dipenjara, disiksa, diasingkan atau disita miliknya tanpa cukup alasan menurut hukum negara.
Artinya, lahirnya Magna Charta (1215), yaitu suatu dokumen tentang beberapa hak yang diberikan oleh Raja Jhon Lockland dari Inggris atas tuntutan para bangsawan yang menyulut ide tentang keterkaitan antara penguasa kepada hukum dan pertanggujawaban kekuasaan mereka kepada rakyat.[2]
Selain itu terdapat Revolusi Perancis, Revolusi Perancis merupakan sebuah peristiwa yang menyebabkan perubahan sosial dan pergeseran budaya politik. Revolusi ini membentuk paham-paham sepertil liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme yang berdampak pada perubahan sistem pemerintahan dan kedaulatan[3]. Kebebasan hak pasca Revolusi Perancis selalu menjadi perhatian, karena pasca Revolusi Perancis tersebut melahirkan paham-paham baru seperti liberalisme, demokrasi, dan nasionalisme. Paham-paham baru ini, terutama mengenai paham Demokrasi dianggap mengubah sistem pemerintahan yang sebelumnya hanya berdasarkan ikatan keluarga kerajaan atau kaum kelas atas, menjadi semua rakyat berhak menentukan pemimpin mereka sendiri dalam sebuah pemilihan umum. Selain ketiga paham tersebut, paham sekularisme juga hadir sebagai pemisah antara urusan agama dan urusan negara, dimana pada masa pemerintahan monarki, gereja dan negara selalu berbarengan dalam memimpin, sehingga dianggap gereja terlalu mencampuri urusan negara[4].
Kemudian terdapat revolusi Amerika serikat pada 1776 yang di upayakan rakyat Amerika dan koloni-koloni inggris di Amerika, secara radikal di pelopori oleh Samuel Adams (sons of liberty) sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan kerajaan yang Inggris yang berpotensi melanggar hak-hak rakyat seperti pajak yang berlebihan dan pembatasan hak berpolitik dalam kerajaan oleh wilayah-wilayah koloni di Amerika. Secara garis besar perjuangan para rakyat Amerika merupakan perjuangan untuk memperoleh hak-hak mereka yang di langgar dan disepelehkan oleh kerajaan Inggris sebagai pusat pemerintahaan yang mengendalikan 13 negara besar tersebut. Revolusi amerika juga mendorong amerika latin dan negara-negara di sekitarnya untuk melepaskan diri dari ikatan penjajahan inggris, sehingga dikenal nama-nama tokoh revolusi seperti Simon Boliviar “Bapa kemerdekaan Amerika Latin”, Che Guevara, Hugo Caves dan beberapa tokoh lainnya[5].
Penegasan kembali mengenai sejarah revolusi bangsa-bangsa untuk menjemput Hak Asasi mereka merupakan upaya penulis untuk mengantar pikiran pembaca kepada keyakinan bahwa Hak Asasi merupakan Hak yang harus di perjuangkan, perjuangannya relatif dengan bentuk permasalahan yang di hadapkan kepada masyarakat. Ini sebagai acuan refleksi untuk melihat bagaimana cara menjawab segala persoalan HAM di Tanah Papua, apakah pelanggaran HAM di Papua termasuk dalam kategori biasa-biasa saja, ataukah di perlukan sebuah revolusi untuk menjamin pemenuhan Hak-hak rakyat? Dan apakah memungkinkan jika mengupayakan hal tersebut?
Pembahasan
- Sejarah Pelanggaran HAM di Tanah Papua
Fakta-fakta pelanggaran HAM di Papua sudah terjadi sejak sejak tahun 1960-an. Penulis mengangkat isu HAM di Papua sejak tahun 1960-an karena hampir semua golongan masyarakat di Papua mengakui bahwa awal sejarah pelanggaran HAM di Papua berawal dari Tahun 1960-an, terus berlangsung hingga saat ini dan akan terus terjadi. Terdapat banyak pelanggaran HAM yang terjadi di sepanjang tanah Papua mulai dari tahun 1960-an hingga saat ini akan tetapi penulis hanya akan menyajikan beberapa pelanggaran HAM yang terkesan berat (subjektivitas penulis) dan yang harus di tegaskan secara berulang, penulis membagi sejarah pelanggaran HAM ini secara garis besar bermula dari 1960-an, 1970-an. 1980-an, 1990-an, dan 2000-an hingga sekarang.
Rakyat Papua mendeklarasikan kemerdekaannya sejak 1 Desember 1961, melalui deklarasi manifesto politik tepatnya pada tanggal 19 Oktober (de facto) yang nantinya di akui secara resmi pada tanggal 1 Desember 1961 (de jure). Deklarasi kemerdekaan tersebut di bantu oleh kerajaan belanda yang pada saat itu masih menduduki Papua, menurut kesaksian para orang tua, bangsa belanda tidak datang untuk menjajah kehidupan manusia Papua, melainkan mereka mempersiapkan bangsa Papua untuk membangun peradabannya[6]. Pada saat itu Belanda telah memberikan dan mengakui kemerdekaan tersebut, ini menandakan bahwa kemerdekaan tersebut sah, legitim dan final. Akan tetapi pada tanggal 19 Desember 1961 presiden Soekarno mengeluarkan maklumat Tiga komando rakyat (Trikora) sebagai upaya untuk merebut Papua ke dalam kedaulatan NKRI, upaya ini dilakukan karena presiden Soekarno merasa bahwa Papua merupakan bagian dari Kekuasaan belanda yang seharusnya bagian dari kemerdekaan Indonesia. Maklumat Trikora itu diwujudkan dalam tindakan nyata yaitu melalui Operasi Militer di bawah “Komando Mandala Perebutan Irian Barat” berhadapan langsung dengan Belanda yang dimulai awal 1962. Operasi militer berhenti setelah Penandatangan Perjanjian New York 15 Agustus 1962[7]. Fakta pertama yang membuat masyarakat Papua merasa bahwa ini merupakan pelanggaran terhadap hak orang Papua adalah bahwa hak berpolitik yang di rebut melalui operasi tersebut, sebagai bentuk penentuan nasib sendiri dan pengelolaan sumber daya alam secara mandiri. Selain itu hal tersebut dianggap sebagai bagian dari proses aneksasi kedaulatan Papua ke dalam negara Indonesia, ini merupakan pelanggaran HAM berat dan sekaligus menjadi awal dari pelanggaran-pelanggaran HAM berikutnya. Selanjutnya penandatanganan perjanjian New York pada 15 Agustus 1962 yang tidak melibatkan satu pun orang Papua sebagai representasi rakyat. Perjanjian ini dinilai tidak menghormati masyarakat Papua sebagai subjek yang memiliki hak untuk menentukan nasib bangsanya. Perjanjian New York merupakan akibat dari Trikora yang di upayakan pemerintah Indonesia untuk merebut kemerdekaan Papua kepada kedaulatan NKRI. Meskipun sudah mendeklarasikan kemerdekaannya, nasib bangsa Papua saat itu masih belum jelas akan dibawa kemana, dilema melanda para intelektual Papua yang berjuang demi kemerdekaan bangsa Papua, deklarasi kemerdekaan tersebut hanya menjadi formalitas tanpa kualitas. Ini merupakan pelanggaran bagi hak sebuah bangsa untuk menentukan nasibnya sendiri. Perjanjian sepihak tersebut menghasilkan Penentuan pendapat rakyat (Pepera) yang nantinya dilaksanakan pada 14 juli 1969, yang pada pelaksanaannya pun terdapat banyak kejanggalan dan pelanggaran, banyak spekulasi yang menyebar di seluruh tanah Papua seperti Pepera tidak dapat merepresentasikan kehendak orang papua, Pepera dilaksanakan dibawah tudungan senjata, pemaksaan kehendak dan lainnya. Hal-hal inilah yang menyebabkan pemberontakan masyarakat terhadap rezim dan memicu banyak konflik setelah dilaksanakannya Pepera.
Konflik yang terjadi setelah integrasi Papua ke dalam NKRI pada Pepera 1969 adalah konflik yang merupakan penolakan masyarakat Papua terhadap kenyataan tersebut. Tidak dapat di sangkali bahwa integrasi tersebut merupakan akar persoalan konflik di tanah Papua, dalam bentuk pelanggaran HAM berupa pembungkaman, melarang rakyat Papua berkumpul di tempat umum terlebih lagi hak kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum pun di redupkan sebagai bagian dari upaya integrasi Papua kedalam bingkai NKRI[8]. Konflik-konflik selanjutnya dari tahun 70-an hingga sekarang pun memang berakar dari hal tersebut. Pada tahun 1978 terbentuk sebuah grup musik asal Papua yang bernama MAMBESAK yang beranggotakan Arnold Ap dan beberapa orang dari Biak, pada saat itu Mambesak merepresentasikan keluhan masyarakat Papua melalui karya-karya musiknya bahkan hingga kini lagu-lagu mambesak seringkali di jadikan bahan refleksi yang relevan terkait dengan situasi objektif di Papua. Pada tanggal 29 November 1983, Mambesak diundang untuk tampil di depan kantor Gubernur Provinsi Papua. Sehari setelah acara tersebut, Arnold Ap dan keempat anggota lainnya ditangkap oleh Kopassandha (sekarang Kopasus) dengan tuduhan memberontak atau subversi. Beliau juga dipecat dari Universitas Cendrawasih (Uncen) dengan tuduhan yang sama. Arnold kemudian dipenjarakan selama tiga bulan dan pada tanggal 26 April 1984, dia dibunuh setelah keempat anggota lainnya dibunuh di tempat yang sama di Jayapura. Orang-orang percaya ini adalah akhir dari Mambesak[9]. Grup musik Mambesak dengan eksistensinya dianggap mengancam kedaulatan negara karena lagu-lagu yang dibawa merepresentasikan kekayaan alam, Mambesak menyanyikan banyak lagu dalam berbagai bahasa dari suku-suku yang ada di Papua mengenai keindahan dan legenda-legenda leluhur. Penampilan Mambesak membuat orang-orang jatuh cinta dengan budaya dan bangga dengan alam yang ada di papua. Secara tidak langsung, apa yang dilakukan oleh Mambesak adalah meningkatkan kesadaran mengenai situasi yang sedang terjadi saat itu. Ketika orang bernyanyi mengenai keindahan alam, mereka menjadi sadar bahwa alam mereka mulai berubah karena ada eksploitasi besar-besaran yang merusak. Banyak orang menjadi sadar dan akhirnya mulai meningkatkan lebih banyak suara dan aksi terhadap pemerintah untuk berhenti. Orang-orang yang menjadi bangga dengan budayanya menjadi mempertanyakan ketidakselarasan budaya Melanesia dan ciri khas, sehingga mempertanyakan kenapa orang Papua yang adalah Melanesia bisa menjadi bagian dari NKRI, negara dengan mayoritas Melayu. Dan yang paling penting, orang mulai sadar bahwa mereka sedang tertindas oleh pemerintah. Kesadaran terhadap kondisi orang Papua yang tertindas ini adalah dampak dari Mambesak yang bergerak untuk memperkuat budaya orang asli Papua. Yang sayangnya, menjadi alasan untuk menjadikan Mambesak sebagai sebuah kelompok yang mengancam kedaulatan negara, terutama saat negara telah melakukan banyak pelanggaran HAM pada masa itu di Papua. Pendengar dan penggemar Mambesak mulai berpikir bahwa lebih baik Papua berdiri sendiri sebagai sebuah negara. Dari respon yang dilakukan oleh pemerintah dengan menangkap pemimpin dan ketiga anggota lainnya, lalu membunuh mereka, kita menyadari, Mambesak adalah sebuah ancaman, sebuah musuh pemerintah[10].
Selanjutnya, salah satu peristiwa penting yang mencerminkan pelanggaran hak asasi manusia di Papua pada tahun 1980-an adalah Pemberontakan Biak yang terjadi pada tahun 1998 yang di kenal sebagai peristiwa “Biak Berdarah”. Walaupun terjadi di akhir dekade, peristiwa ini memiliki akar yang dalam di konflik yang berlangsung sejak sebelumnya. Peristiwa Pemberontakan Biak 1998. Latar Belakang Pemberontakan di Biak terjadi dalam konteks ketidakpuasan yang meluas di kalangan penduduk Papua terhadap kebijakan pemerintah Indonesia yang dianggap menindas dan mengabaikan aspirasi politik serta sosial masyarakat Papua. Gerakan-gerakan perjuangan Papua Merdeka seperti OPM masih aktif, dan semangat kemerdekaan meningkat di kalangan penduduk setempat. Sebagai Kronologi Singkat, Pada 6 Juli 1998 setelah salah satu aktivitas protes damai yang dilakukan oleh pendukung kemerdekaan mengibarkan bendera Papua (Bintang Kejora), terjadi bentrokan antara demonstran dan aparat keamanan. Militer Indonesia memandang aksi tersebut sebagai ancaman dan bertindak keras untuk membubarkan kerumunan. Tindakan Keras, setelah bentrokan ini, aparat militer melakukan tindakan represif yang meliputi penembakan terhadap pengunjuk rasa, penangkapan sewenang-wenang, dan penghilangan paksa. Saksi mata melaporkan bahwa banyak warga sipil yang tewas atau terluka selama operasi militer tanpa alasan yang jelas. Sebagai akibatnya Peristiwa ini menyebabkan ratusan orang tewas dan banyak yang hilang, setidaknya mengorbankan 230 orang, 8 orang meninggal, 8 orang hilang, 4 orang luka berat dan dievakuasi ke Makasar, 33 orang ditahan sewenang-wenang, 150 orang mengalami penyiksaan, dan 32 mayat misterius ditemukan hingga terdampar di perairan Papua New Guinewa (PNG)[11]. Selain itu, insiden ini memperburuk hubungan antara pemerintah Indonesia dan masyarakat Papua, serta menarik perhatian internasional terhadap situasi hak asasi manusia di Papua. Implikasinya, Pemberontakan Biak menjadi titik balik dalam kesadaran global mengenai perlakuan kepada masyarakat Papua, mendorong advokasi hak asasi manusia dari berbagai organisasi internasional dan membangkitkan diskusi tentang status politik Papua.
Selain itu penulis meyakini bahwa masyarakat Papua sadar betul akan bahaya yang sudah, sedang dan bahkan akan terjadi menyangkut Papua sebagai stok Ekonomi masa depan Indonesia, hal ini sudah tergambarkan sejak penandatanganan perjanjian dengan Perusahaan tambang Emas dan Tembaga Freeport McMoran Inc (Kontrak karya I). Perusahaan ini diberikan kebebasan mengeksplorasi tanpa membayarkan pajak kepada pemerintah selama tiga tahun dan dapat mengeksploitasi lokasi seluas 10.000 ha di Timika selama 30 tahun. Kontrak karya ini menjadi salah satu bentuk eksploitasi di Papua Barat karena, masyarakat asli yang tinggal di Nemangkawi harus dipindahkan ke lokasi lain. Mayoritas pekerja di perusahan ini pada saat itu berasal dari negara lain dan pulau luar Papua[12]. Jika telusuri secara mendalam tentang fakta-fakta sebab akibat adanya kontrak tersebut, dapat di temui banyak pelanggaran HAM seperti pemanfaatan terhadap ketidaktahuan masyarakat hukum adat, dan sebagai informasi tambahan penandatanganan tersebut terjadi dua tahun sebelum Putusan Pendapat Rakyat di gelar atau sebelum integrasi Papua kedalam NKRI penandatanganan tersebut sudah di laksanakan (representasi dari buruknya citra politik).
Ancaman terhadap eksistensi masyarakat adat Papua yang kian makin masif, meskipun Undang-Undang Otonomi Khusus menjamin perlindungan terhadap hak Masyarakat Hukum Adat pada pasal 43 berupa adanya legitimasi pemerintah provinsi Papua untuk mengakui hak ulayat masyarakat Adat tetap saja terdapat intervensi dari pusat yang memengaruhi kebijakan pemerintah daerah, bahkan UU Otsus yang memberikan kewenangan disentralisasi terhadap pemerintah daerah pun seolah hanya berupa formalitas tanpa kualitas. Upaya peningkatan nilai ekonomis menjadikan sejumlah wilayah di Tanah Papua sebagai target perusahaan-perusahaan sawit, tebu dan lainnya, dengan dalil pembangunan hijau yang ramah lingkungan namun kehijauan itu bukan datang dari keberagaman tanaman tetapi mono kultur tanaman. Pada faktanya beberapa proyek nasional seperti MIFE yang saat ini gagal (relatif lambat)[13] merupakan proyek yang dalam implementasinya mengabaikan hak-hak ulayat masyarakat adat, juga termasuk Proyek Strateegis Nasional (PSN) Merauke yang mengabaikan hak-hak masyarakat hukum adat seperti pengabaian terhadap prinsip Free Prior Informed Consent (FPIC), juga Yayasan Pusaka menduga bahwa dokumen lingkungan hidup atau persetujuan lingkungan hidup (AMDAL) yang di maksudkan oleh peraturan sebelumnya adalah tidak ada atau dengan kata lain tidak ada ijin kelayakan lingkungan untuk PSN sendiri. Hal ini sebagaimana dinyatakan bahwa “Kami menduga proyek PSN Merauke cetak sawah baru satu juta hektar dan pembangunan sarana dan prasarana ketahanan pangan belum memiliki dokumen lingkungan dan persetujuan lingkungan. Masyarakat terdampak langsung maupun organisasi lingkungan hidup tidak dilibatkan sejak awal pembahasan kerangka acuan dan penilaian Amdal dan belum mendapatkan informasi dokumen lingkungan”, jelas Franky Samperante, direktur PUSAKA. Selanjutnya dalam masa pemerintahan Presiden Prabowo ini, beliau menyatakan bahwa beliau optimis Nilai ekonomi Indonesia akan tumbuh 8 persen[14], akan tetapi dapat di duga secara eksplisit bahwa akan deforestasi besar-besaran sebagai konsekuensi, ini menjadi tantangan baru bagi masyarakat adat untuk mempertahankan hak ulayat mereka, dan ini akan berlangsung dengan tersistematis meskipun terdapat penolakan dari masyarakat.
- Upaya Pemerintah Indonesia Untuk melindungi HAM
Pemerintah Indonesia telah sekian kalinya berdalil bahwa telah mengupayakan pendekatan-pendekatan humanis kepada masyarakat Papua demi menegakan perlidungan dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia Papua, tetap saja hal tersebut dinilai belum memadai dan masih banyak ketidakpuasan yang dirasakan masyarakat Papua, masih ada beberapa persyaratan mendasar yang seharusnya menjamin kebebasan bagi OAP yang belum terpenuhi, minority rights yang ditetapkan oleh pemerintah masih belum berhasil karena liberal culture dalam perlindungan hak individu belum optimal[15]. Penulis ingin menambahkan pengalaman pribadi dalam ikut menyuarakan Hak masyarakat adat dalam perjuangannya untuk mempertahankan hutan adatnya (hak ulayat), saat itu Hendrikus Woro selaku representasi masyarakat hukum adat Awyu memperjuangkan hak ulayatnya dari skala regional hingga skala Nasional di Mahkama Agung karena tanahnya seluas 36.094 hektare yang hendak dijadikan lahan sawit. Akan tetapi perjuangannya gagal memalui putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 458 K/TUN/LH/2024, ini menjadi tantangan baru bagi masyarakat hukum adat di Papua untuk menyelamatkan hutan[16]. Akan tetapi di sisi lain kita bisa melihat bagaimana ada upaya perlindungan hak ulayat dari pemerintah daerah seperti yang terjadi di Kabupaten Sorong Selatan, pemda mengakui hak ulayat masyarakat Keputusan ini pertama kali diputuskan dan ditetapkan oleh Bupati Sorong Selatan. Pada Juni 2022, Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong Selatan menetapkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2022 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Penghormatan Masyarakat Hukum Adat (MHA) di Kabupaten Sorong Selatan. Diketahui terdapat 42 kelompok sub suku dan ratusan marga dari masyarakat adat di Kabupaten Sorong Selatan, yang didaftarkan dan diakui keberadaanya melalui Perda 03/2022[17]. Upaya penegakan HAM yang paling bisa di upayakan oleh pemerintah daerah adalah pengakuan seperti ini, masyarakat membutuhkannya karena hal tersebut menghormati nilai-nilai komunal yang ada di dalam antropologi masyarakat Papua. Upaya-upaya lain seperti pembangunan dan pemerataan hanya menjadi alasan untuk melegalkan segala bentuk Papua ekploitasi hutan Papua karena adalah fakta bahwa sumber daya alamnya melimpah (Forest Watch Indonesia, 2019), secara sederhana dapat di pahami bahwa upaya pemerintah untuk menanggapi persoalan HAM di Papua hanya menimbulkan masalah yang baru. Karena pembangunan dan pemerataan dapat dijadikan alasan untuk melegalkan segala bentuk eksploitasi, deforestasi, dan hal-hal semacam ini.
- Apakah Revolusi Sosial Kuncinya?
Standar penegakan HAM pada tulisan ini tidak berfokus kepada apa yang harusnya di upayakan oleh masyarakat internasional ataupun negara untuk melindungi dan memberikan jaminan penegakan HAM, tetapi bagaimana individu sadar terhadap keharusannya untuk memperjuangkan dan mengupayakan penegakan HAM. Hal ini sebagaimana di katakan oleh Albert Camus bahwa kebebasan bukanlah hal yang didapat secara cuma-cuma, itu merupakan sesuatu yang harus di perjuangkan oleh setiap orang, setiap harinya, secara bersama-sama dan dengan caranya masing-masing. Tepat jika terdapat kesadaran bahwa keadilan dan kesejahteraan tidak bisa sepenuhnya di harapkan dari pemerintah, karena jika di kaitkan dengan situasi di tanah Papua saat ini terdapat intervensi langsung dari pusat, hal ini tentu tidak sesuai dengan konsep disentralisasi yang berlaku di negara ini. Juga tidak dapat di pungkiri bahwa terdapat kekuatan oligarki yang melatarbelakangi semua ini, tidak hanya dalam skala regional tetapi juga skala nasional. Hal ini menyebabkan masyarakat merasakan kurangnya kepastian hukum untuk melindungi hak mereka dan merasa bimbang dengan posisi mereka sebagai warga negara.
Revolusi Sosial di mulai dengan kesadaran bahwa tidak semua hal yang menjadi hak komunitas maupun individu harus di penuhi oleh negara, ada beberapa bahkan sebagian besar hal yang harus di perjuangkan secara mandiri. Perjuangan itu sudah mulai terlihat oleh penulis (subjektif) sejak menulis tulisan ini (24/11/2024), banyak lapak baca gratis yang menyebar hampir di seluruh Papua, diskusi-diskusi kritis sudah mulai di hidupkan, kebijakan-kebijakan pemerintah yang merugikan masyarakat menyebabkan masyarakat Papua dipaksa untuk bertumbuh dalam mental dan meningkatkan kapasitas intelektualnya terutama di kalangan pemuda dan pemudi, kesadaran itu tersebar di kalangan pemuda dan pemudi Papua, masa ini akan melahirkan sebuah revolusi yang di pimpin oleh anak muda yang berdiskusi seperti yang terjadi pada revolusi Perancis yang di awali dengan diskusi-diskusi di kafe sehingga lahirlah pikiran-pikiran radikal yang di dukung oleh krisis pada saat itu.
Kesimpulan `
Dalam sejarah perkembangan Hak Asasi Manusia, perlu di soroti bahwa banyaknya regulasi yang mengatur tentang perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi individu maupun kelompok tidak dapat menjamin pemenuhan dan penerapannya. Di perlukan upaya-upaya masyarakat maupun individu untuk mendapatkan apapun yang menjadi bagian dari hak mereka, segala cara di terima asal dengan tidak merebut hak orang lain. Diskusi-diskusi kritis merupakan bagai awal untuk menjemput sebuah revolusi sosial, menurut penulis situasi saat ini di tanah Papua dapat saja melahirkan sebuah revolusi jika terus ada ancaman yang langsung terpusat dan terstruktur, masyarakat hanya menunggu saat yang tepat untuk melancarkannya. Karena revolusi sosial itu bagian dari kekecewaaan masyarakat terhadap kekuasaan dan terhadap peristiwa-peristiwa juga kondisi-kondisi yang di hadapkan kepada masyarakat seperti krisis ekonomi, krisis sosial, krisis dalam penegakan HAM, juga beberapa faktor pendukung seperti meningkatnya kesadaran masyarakat akan ancaman yang nyata, hidupnya diskusi-diskusi radikal antara pemuda pemudi dalam komunitas dan persatuan antara rakyat. Revolusi sosial mengantarkan masyarakat kepada jawaban atas setiap keluh kesah mereka, misalnya revolusi Perancis menghentikan otoritarian Louis XV sehingga menghasilkan paham republikanisme, anti feodalisme dan semangat untuk memperjuangkan Hak Asasi Manusia, ini merupakan aspirasi rakyat yang di perjuangkan oleh masyarakat itu sendiri. Ini menjadi bahan refleksi kritis bagi masyarakat Papua bahwa revolusi sosial adalah hal yang pasti sebagaimana di katakan oleh Karl Marx bahwa kontradiksi antar kelas akan membawa konflik dan konflik itu adalah bagian dari realitas yang tidak dapat di hindari, konflik itu merupakan upaya kelas bawah untuk memperjuangkan kesetaraan dan keadilan.
***
[1] NASUTION, Leoly Ahadiathul Akhiriah; HARAHAP, Fatrah Yunus. Hak Asasi Manusia. 2019.
[2]A. Ubaedillah, Pendidikan Kewarganegaraan Pancasila, Demokrasi dan Pencegahan Korupsi,( Jakarta: Kencana, 2015 ), hlm. 165.
[3] CHRISTMAS, Sandy Kurnia; PURWANTI, Evi. Perkembangan sistem pemerintahan dan konsep kedaulatan pasca revolusi Perancis terhadap hukum internasional. Jurnal Pembangunan Hukum Indonesia, 2020, 2.2: 222
[4] Ibid :233
[5] Para Martir Revolusi Dunia, Lukman Santoso Az, 2014: 59
[6] Di lansir dari Suara Papua.Com, Papua telah menentukan nasib sendiri melalui deklarasi manifesto politik 19 Oktober 1961 yang di rayakan secara resmi 1 Desember 1961, Selpius Bobii, 2023.
[7] ibid
[8] GAULT-WILLIAMS, Malcolm. Organisasi papua merdeka: the free Papua movement lives. Bulletin of Concerned Asian Scholars, 1987, 19.4: 35
[9] Dilansir dari Lao-Lao Papua.com, Mambesak: Ancaman Terhdap Pemerintah Indonesia, Dorthea Webiser, 2024
[10] Ibid
[11] Ibid, AMP: 23 Tahun Biak Berdarah Negara Segera Bertanggungjawab, redaksi Lao-Lao, 2023
[12] Ibid, Mambesak: Ancaman Terhdap Pemerintah Indonesia, Dorthea Webiser, 2024
[13] MUKTI, Abdul. Pemberdayaan Pertanian Lokal dalam menopang Keberhasilan program Food Estate di Kalimantan Tengah. Journal Socio Economics Agricultural, 2020, 15.2: 101.
[14] Dilansir dari VOA Indonesia.com, Prabowo Optimis Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Bisa Capai 8 Persen, 2024
[15] HERJAWAN, Hery; PERTAMA, Herdito Sandi. Refleksi Kritis Pandangan Will Kymlicka dan Perlindungan Hukum Terhadap Hak Minoritas Adat Papua. Tinjauan Hukum , 2024, 13.1: 117
[16] Dilansir dari GreenPeace Indonesia, Mahkama Agung Tolak Kasasi Suku Awyu, Perjuangan Selamatkan Hutan Papua Kian Berat, 2024
[17] Dilansir dari Pusaka, Apresiasi Langkah Maju Pemda Sorong Selatan dengan Menetapkan Hak Masyarakat Adat dan Wilayah Adat, 2024